Ortodoksi sebagai sebuah konstruksi

Dalam hampir setiap agama, kita akan jumpai apa yang disebut dengan “ortodoksi”, yakni suatu ajaran standar yang dianggap mewakili kebenaran dalam agama tersebut. Secara harafiah, ortodoksi adalah ajaran atau dogma yang benar, berasal dari kata Yunani “orthodoxos”. “Orthos” artinya lurus atau lempang. “Doxa” artinya pendapat atau dogma. Lawan dari ortodoksi adalah heterodoksi, yakni pendapat atau dogma “lain” (hetero) yang dianggap menyimpang dari ajaran yang benar dan lempang. Dalam hampir setiap agama selalu ada ketegangan, bahkan kerapkali juga konflik dan perang, antara ortodoksi dan heterodoksi.
Kenapa muncul ortodoksi? Kenapa pula muncul heterodoksi? Jika agama berasal dari kitab suci atau ajaran yang sama, kenapa mesti ada dualisme antara ajaran dan dogma yang benar dan dogma yang sesat?

Ortodoksi muncul karena setiap agama akan cenderung mengalami pelembagaan, institusionalisasi. Apa yang saya sebut sebagai pelembagaan di sini bukan sekedar munculnya lembaga-lembaga yang secara fisik bisa kita lihat, seperti kantor-kantor yang mengurus perkara agama. Pelembagaan di sini lebih menyangkut pengertian yang lebih abstrak, yaitu proses standardisasi ajaran dan dogma yang oleh sekelompok tertentu dianggap mewakili kebenaran dalam agama bersangkutan. Setelah standardisasi itu terjadi, maka dogma-dogma lain akan dianggap menyimpang, sesat, dan kadang juga berbahaya, karena itu harus pelan-pelan disingkirkan.

Ortodoksi biasanya lahir belakangan, setelah pendiri atau pembawa agama bersangkutan sudah tidak ada lagi. Pada fase perdana, terutama saat pendiri atau pembawa agama itu masih hidup, biasanya belum muncul perbedaan yang tajam di antara para pengikutnya. Setelah pendiri/pembawa agama itu tidak ada, biasanya akan muncul sejumlah interpretasi yang berbeda-beda. Keragaman interpretasi ini kerapkali terkait dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak selalu berhubungan dengan agama. Suatu interpretasi tidak pernah bebas dari konteks tertentu dan kepentingan tertentu pula. Keragaman ini kerapkali juga menimbulkan bentrok antara kelompok-kelompok yang membawa interpretasi yang berbeda-beda itu. Dalam beberapa kasus, keragaman interpretasi kadang-kadang mengganggu ketertiban sosial. Bagi seorang penguasa yang hendak membangun keterbitan masyarakat, keragaman interpretasi dalam agama ini bisa menjadi ancaman. Oleh karena itu, seorang penguasa politik biasanya memiliki kepentingan untuk menyeragamkan pendapat, sebab keseragaman akan lebih menjamin ketertiban.

Bagaimana keseragaman ini diperoleh? Di sinilah muncul proses standardisasi yang sudah saya sebut di atas. Proses ini berlangsung agar pendapat yang berbagai-bagai tentang suatu masalah bisa ditertibkan. Dengan memakai standar tertentu, sejumlah orang yang dianggap ahli dan kompeten melakukan seleksi mana pendapat yang sesuai dengan standar itu, dan mana yang tidak. Pendapat-pendapat yang dianggap mewakili kebenaran agama bersangkutan diresmikan sebagai dogma ortodoks. Dogma-dogma yang tidak sesuai dengan standar tersebut dianggap menyimpang; itulah dogma heterodoks.

Dalam konteks Islam, proses semacam ini bisa kita lihat dengan jelas. Pada zaman Nabi sendiri, kita tidak pernah menjumpai akidah yang disebut sebagai Ahlussunnah wal Jamaa’h atau dogma Sunni. Kelompok ini pun muncul jauh setelah generasi Nabi. Pada zaman Nabi, banyak hal yang berkaitan dengan agama masih bersifat “bahan mentah”. Bahan mentah itu tercermin dalam teks-teks sebagaimana kita jumpai dalam Quran atau ucapan Nabi. Bahan mentah itu kita jumpai pula dalam contoh dan teladan yang pernah diberikan oleh Nabi, apa yang sering disebut sebagai “sunnah” atau tradisi.

Teks-teks itu mengandung banyak kemungkinan interpretasi. Oleh karena itu, dari teks yang sama, bisa muncul pelbagi pandangan, pendapat, dan aliran. Dengan prosedur tertentu, kelompok yang disebut Sunni merumuskan dogma tertentu yang dianggap benar. Itulah yang disebut sebagai “dogma kelompok yang selamat” (‘aqidat al-firqa al-najiya).

Tetapi, ortodoksi tidaklah bersifat tunggal. Dalam setiap agama selalu ada banyak ragam ortodoksi. Setiap kelompok berusaha merumuskan sejumlah dogma yang mereka anggap tepat dan benar. Dalam Islam, agama yang saya ketahui dengan baik, kita jumpai banyak ragam ortodoksi. Ada ortodoksi yang dikembangkan oleh kelompok Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dan seterusnya. Apa yang dianggap benar dalam dogma Sunni belum tentu benar dalam pandangan orotodksi yang lain, misalnya Syi’ah atau Mu’tazilah.

Yang perlu kita lihat juga, apa yang disebut sebagai ortodoksi tidak sebatas pada dogma yang berkaitan dengan aspek-aspek teologis. Ortodoksi juga berlaku dalam hal-hal yang berkenaan dengan ritual (‘ibadah) atau cara bertindak yang benar menurut agama (moralitas). Dalam Islam, kita kenal suatu disiplin kajian yang disebut dengan fiqh, yaitu hukum yang mengatur tindakan sehari-hari seorang yang beriman. Sebagaimana ada banyak ragam ortodoksi pada level akidah atau dogma, begitu juga ada banyak ragam ortodoksi pada level fiqh. Dari teks yang sama, yaitu Quran dan hadis, muncul banyak interpretasi dalam bidang hukum. Masing-masing mazhab mencoba melakukan standardisasi atas pelbagai ragam pendapat itu dengan cara menyeleksi mana pendapat yang sesuai dengan standar tertentu dan mana yang tidak. Lahirlah sejumlah mazhab dalam Islam. Sekurang-kurangnya, kita kenal lima mazhab yang populer di masyarakat Islam sekarang ini: mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali dan Ja’fari. Dalam masing-masing mazhab, terdapat ortodoksi tertentu. Belum tentu pendapat yang dianggap ortodoks dalam mazhab tertentu adalah benar alias ortodoks dalam mazhab yang lain.

Setiap aliran dan mazhab tentu berpandangan bahwa dogma dan pendapat yang mereka kemukakan adalah konsisten dengan teks fondasional dalam agama, yakni, dalam konteks Islam, Quran dan sunnah. Sebagaimana sudah saya katakan, dari teks yang sama dalam sebuah agama, bermunculan interpretasi yang berbeda. Suatu interpretasi tertentu boleh saja dianggap tak konsisten atau malah menyimpang dari teks fondasional, tetapi kelompok yang mengajukan interpretasi itu sudah tentu tak setuju dengan anggapan tersebut. Kelompok itu akan berpendapat bahwa interpretasi yang ia ajukan sesuai dengan teks agama yang ada. Kenapa teks yang sama melahirkan interpretasi yang berbeda, tentu hal ini disebabkan oleh banyak hal. Salah satu sebab yang relevan di sini adalah konteks sosial atau metode interpretasi yang berbeda. Karena konteks sosial dan metode yang dipakai berbeda, maka muncul mazhab fikih yang berbeda di kawasan Kufah, Madinah dan Irak, misalnya.

Contoh berikut ini menarik kita simak. Hingga abad kedua Hijriyah, kedudukan sunnah atau hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam masih diperdebatkan dengan keras. Imam Syafii (w. 204 H/820 M) menulis karya yang terkenal , “Al-Risalah“, sebagai sebentuk sanggahan terhadap kelompok-kelompok lain yang tak menganggap sunnah sebagai sumber otoritatif dalam penetapan hukum. Dalam “al-Umm“, karya Imam Syafii yang lain, kita jumpai polemik yang cukup hangat antara dia dengan penduduk Madinah, yakni mereka yang mengikuti pendapat Imam Malik. Polemik ini berkisar pada kedudukan sunnah sebagai sumber yang otoritatif. Berkat Imam Syafii-lah kemudian sunnah pelan-pelan diakui sebagai dasar yang mantap untuk menetapkan hukum. Karena itu, ia disebut sebagai “pembela sunnah Nabi”, atau nashir al-sunnah.

Umat Islam yang hidup setelah Imam Syafii dengan mudah melihat sunnah secara taken-for-granted sebagai sumber yang otorittaif dalam Islam. Padahal keadaannya tidak demikian sebelum periode Imam Syafii. Sebelum itu, banyak pihak dalam Islam yang menganggap sumber-sumber lain di luar Quran sebagai lebih otoritatif ketimbang sunnah Nabi. Para sarjana hukum Islam dari kawasan Irak lebih cenderung memakai “pendapat” atau “akal” sebagai sumber yang lebih otoritatif ketimbang sunnah. Penduduk Madinah di bawah kepemimpinan Imam Malik menganggap bahwa tradisi masyarakat Madinah lebih otoritatif ketimbang sunnah Nabi.

Sementara itu, di luar lingkungan “sarjana agama”, kedudukan sunnah juga masih dipersoalkan. Sebuah anekdot yang menarik layak kita sebut di sini, yakni tentang Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam (w. 840 M), salah seorang tokoh penting dalam sekte Mu’tazilah dari aliran Basrah. Al-Nazzam adalah salah satu pemikir Islam klasik yang sangat orisinal dan kreatif, meskipun karya-karyanya tak satupun yang sampai ke tangan kita. Pendapat-pendapatnya bisa kita baca melalui buku-buku doksografi (buku tentang sejarah seke dan aliran dalam Islam), seperti al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani (w. 1153 M), atau karya-karya muridnya sendiri, yaitu al-Jahiz (w. 869 M), seperti “Al-Bayan wa al-Tabyin” dan “Kitab al-Hayawan“.

Al-Nazzam adalah seorang rasionalis tulen yang tidak dengan mudah menerima sebuah hadis begitu saja. Di mata dia, hadis-hadis yang kita terima dari Nabi harus ditimbang dengan akal. Jika hadis-hadis itu bertentangan dengan akal, dia tak segan-segan untuk menolaknya. Karena itu, dia, misalnya, menolak sejumlah hadis yang memuji-muji kucing (al-sinnaur) dan meremehkan anjing (al-kalb). Sebuah hadis terkenal memuji kucing sebagai binatang yang gemar “menggelendot” pada manusia (innahunna min al-tawwafati ‘alaikum), dan karena itu air yang dijilat oleh kucing tidak dianggap kotor atau najis. Sementara itu, anjing dianggap kotor dan najis, bahkan bejana yang dijilat anjing haruslah dicuci hingga tujuh kali menurut sebuah hadis yang terkenal.

Al-Nazzam tidak menerima hadis seperti ini karena, menurut dia, berlawanan dengan akal. Dia, antara lain, mengatakan bahwa manfaat anjing lebih besar ketimbang kucing; kenapa kucing mesti lebih dipuji ketimbang anjing. Kucing gemar memangsa burung yang menjadi mainan anak-anak, sementara anjing justru bisa menjadi binatang pemburu yang bermanfaat bagi manusia. Kucing kerap memangsa binatang dan serangga yang kotor, seperti ular, kalajengking, dan kelelawar. Dengan makanan yang kotor seperti itu, bagaimana mungkin air liur kucing dianggap tidak kotor dan najis? Sementara makanan anjing justru lebih baik dan bersih ketimbang kucing, tetapi air liurnya dianggap najis. Ini jelas tak masuk akal. Kesimpulannya: anjing lebih memiliki manfaat dan gaya hidup yang lebih baik ketimbang kucing. Karena itu, menurut al-Nazzam, hadis yang memuji-muji kucing dan meremehkan anjing ia tolak karena tak masuk akal. (Baca Ahmad Amin, Duha al-Islam, vol. 3, hal. 87, edisi Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Libanon, 2004).

Anekdot tentang al-Nazzam ini saya kutip sekedar untuk memberikan gambaran bahwa kedudukan sunnah dan hadis Nabi tidak sekukuh seperti yang dibayangkan umat Islam saat ini. Ada suatu fase dalam sejarah Islam di mana kedudukan sunnah masih diperdebatkan dengan sengit. Posisi sunnah menjadi mantap karena proses yang berjalan secara berangsung-angsur dan tidak mendadak begitu saja. Dengan metode dan argumen tertentu sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafii, sunnah pelan-pelan menjadi bagian dari doktrin ortodoks Sunni. Tidak semua kelompok dalam Islam tentu menerima argumen Imam Syafii tersebut.

Ortodoksi, sekali lagi, tidak muncul mendadak dan sekali jadi. Ia lahir dalam suatu proses pelan-pelan. Apa yang kita anggap sebagai dogma dalam ajaran Islam saat ini, belum tentu merupakan dogma yang ‘angker’ pada masa-masa awal Islam. Contoh yang baik adalah sejumlah dogma yang dianggap sebagai salah satu kriteria untuk menentukan apakah seseorang menjadi bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau tidak. Ambillah contoh karya ‘Abd al-Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi (w. 1037 M), Al-Farq Bain al-Firaq. Al-Baghdadi adalah salah satu sarjana penting dalam aliran Asy’ariyah. Ia mencoba merumuskan sejumlah dogma standar yang harus dipercayai oleh seorang pengikut sekte Sunni. Ada lima belas dogma standar menurut al-Baghdadi yang harus diimani oleh seluruh umat Islam. Mereka yang tak mempercayai dogma ini adalah sesat. Banyak di antara dogma-dogma itu yang menarik kita telaah kembali. Misalnya, ia mengatakan bahwa seorang Muslim harus percaya bahwa alam raya adalah baru, dalam pengertian diciptakan dalam konteks waktu kronologis (temporally created), atau, memakai istilah yang sering dipakai dalam teologi Islam, “hadits” (Baca Al-Farq, hal. 283, edisi Dar al-Ma’rifah, Beirut, cet. ke-3, 2001).

Dogma lain: seorang Muslim harus mengetahui sifat-sifat Tuhan dengan prosedur penetapan dan argumen seperti dikenal dalam tradisi teologi Islam, terutama tradisi Asy’ariyah. Seorang yang mengingkari sama sekali sifat-sifat bagi bagi Tuhan, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh kelompok Mu’tazilah, Jahmiyyah atau para filosof, adalah sesat dalam standar dogma Sunni sebagaimana dirumuskan oleh al-Baghdadi.

Sebagaimana kita tahu, al-Baghdadi hidup pada ke-11 Masehi atau ke-5 Hijriyah. Pada saat ia hidup, doktrin Asy’ariyah sudah mapan, dan tugas seorang teolog seperti al-Baghdadi adalah mempertahankan dogma itu dari lawan-lawan doktrinalnya. Dogma Sunni yang ia rumuskan jelas sangat dipengaruhi oleh doktrin teologis yang ia anut. Belum tentu dogma yang ia rumuskan ini disepakati oleh sarjana Islam yang lain. Dogma-dogma ini beberapa tahun kemudian dikritik keras oleh Ibn Rushd (w. 1198 M), sebagaimana bisa kita lihat dalam karyanya, al-Kashf ‘An Manahij al-Adillah. Dalam pandangan Ibn Rushd, seorang Muslim hanya dituntut untuk beriman dengan metode yang sederhana seperti terdapat dalam Quran dan sunnah Nabi. Metode pembuktian Tuhan yang sangat rumit sebagaimana dirumuskan oleh kaum Asy’ariyyah bukanlah bagian dari dogma agama. Orang yang beriman tidak dengan cara Asy’ariyah bukan berarti sesat. Metode dan argumentasi teologis yang dipakai oleh kaum Asy’ariyah, dalam pandangan Ibn Rushd, sama sekali tak ada dalam Quran dan sunnah.

Dengan kata lain, apa yang dianggap ortodoks oleh al-Baghdadi tidaklah demikian di mata Ibn Rushd. Kedua sarjana itu mempunyai perspektif yang berbeda mengenai dogma pokok dalam masalah teologi. Kalau kita telaah dengan cermat, kelima-belas dogma yang ia rumuskan itu adalah “temuan belakangan”, bukan sesuatu yang sudah ada pada zaman Nabi sendiri. Boleh jadi sudah ada embrio yang mengarah kepada dogma-dogma itu dalam teks-teks agama, yaitu Quran dan sunnah. Tetapi sebagai dogma resmi dengan rumusan ketat sebagaimana kita lihat dalam bukunya al-Baghdadi, jelas ia adalah “invensi” atau temuan yang dirumuskan belakangan.

Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai dogma ortodoks adalah suatu konstruksi atau susunan yang diciptakan sendiri oleh manusia dengan suatu penalaran tertentu. Dogma itu tidak mesti ada dalam sumber asli. Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, sumber asli dalam agama mirip dengan sebuah “bahan mentah”. Dari sumber yang sama, pengikut agama bersangkutan bisa melakukan proses “manufaktur” dan melahirkan hal-hal baru yang sebelumnya tak ada dalam teks awal.

Kesimpulan pokok yang hendak saya tuju adalah bahwa selain ortodoksi lahir dalam sebuah proses dan dibuat oleh manusia, suatu dogma menjadi ortodoks juga karena ada orang-orang tertentu yang membuatnya menjadi ortodoks. Dogma-dogma yang dirumuskan oleh al-Baghdadi sebagai ortodoks bukanlah dogma ortodoks pada zaman Nabi dan sahabat sesudahnya. Dogma-dogma itu dianggap ortodoks karena dibuat demikian oleh seorang teolog, yaitu al-Baghdadi, dan kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang sepakat dengan dia.

Dengan kata lain, sebuah ortodoksi bukan semata-mata kata benda, tetapi juga kata kerja. Ia bukan sekedar “ortodoks”, tetapi juga sekaligus “ortodoksifikasi“, jika saya boleh memakai istilah ini, yakni proses suatu dogma menjadi ortodoks. Karena itu, apa yang disebut sebagai ortodoksi adalah sesuatu yang terus mengalami evolusi. Ia tidak ada, kemudian ada, kemudian juga bisa tidak ada lagi. Suatu ortodoksi kerapkali berkaitan dengan konteks tertentu. Ketika konteks itu sudah berlalu, bukan mustahil dogma yang semula dianggap ortodoks itu akan pelan-pelan meleleh, memudar, dan bahkan hilang sama sekali. Sejumlah dogma Sunni yang dirumuskan oleh al-Baghdadi dalam penghukung Al-Farq Bain al-Firaq itu, jika kita baca dalam konteks sekarang, sudah kelihatan “old-fashioned“, atau ketinggalan zaman, dan sama sekali tak nyambung dengan tantangan kontemporer yang diahadapi oleh umat Islam saat ini. Oleh karena itu, umat Islam bisa merumuskan kembali ortodoksi baru, sebab tantangan dan konteks zaman yang mereka hadapi sudah berbeda sama sekali.

Catatan penutup yang layak saya kemukakan adalah berkaitan dengan karakter ortodoksi itu sendiri. Di mana-mana, selalu ada watak inheren dalam ortodoksi yang mengarah kepada “closure” dan “enclosure“, alias ketertutupan dan sekaligus juga penutupan diri. Ortodoksi selalu cenderung eksklusif. Hasil akhir praktis yang muncul dari sana sangat khas, yaitu sikap mudah memandang kelompok yang berasal dari ortodokasi lain sebagai sesat, kafir, murtad, dsb. Dalam terminologi klasik, kita kenal istilah “ahl al-ahwa‘”, yakni orang-orang yang mengikuti “whim” atau kemauan mereka sendiri yang sifatnya subyektif. Kelompok-kelompok yang berpandangan di luar kerangka ortodoksi disebut dengan orang-orang heterodoks yang hanya mengikuti hawa nafsu mereka sendiri. Mereka tak mengikuti standar tertentu yang obyektif sebagaimana dianut oleh pengikut ortodoksi tertentu. Kelompok yang dituduh demikian akan menuduh balik lawannya sebagai pengikut hawa nafsu pula. Terjadilah proses saling menilai yang kadang-kadang berujung pada konflik. Ini semua berasal dari kecenderungan ortodoksi yang selalu mengarah pada penutupan diri.

Gejala semacam ini bukan hanya khas Islam, tetapi juga kita lihat dalam agama-agama lain. Contoh yang terbaik adalah agama Kristen di zaman pertengahan, dan dalam beberapa kasus juga masih berlanjut hingga sekarang. Kecenderungan ortodoksi yang tertutup ini, menurut saya, sudah tak tepat lagi. Kita membutuhkan ortodoksi yang lebih terbuka, dan bisa saling berdialog secara sehat, bukan saling menyesatkan. Semangat zaman yang menandai masyarakat saat ini bergerak ke arah yang sama sekali lain, yaitu semangat multikultural. Oleh karena itu, tak salah jika kita mengharapkan suatu situasi yang lebih “multi-ortodoks”, ketimbang “mono-ortodoks”. Apa yang saya sebut sebagai situasi multi-ortodoks adalah keadaan di mana seseorang bisa saja mengikuti suatu ortodoksi tertentu, tetapi tetap membuka diri pada ortodoksi lain. Kelompok lain tidak serte merta dituduh sebagai heterodoks.

Situasi ini, di mata saya, jauh lebih sehat dan sesuai dengan semangat zaman.[]
Ulil Absar Abdalla.
Boston, 15 September 2008

Read More..

entang Quran, konsep kelengkapan, dan superioritas budaya Ulil Abshar-Abdalla on July 9th, 2010

ISLAM adalah agama yang bisa kita kategorikan sebagai “agama berkitab suci” (scriptured religion). Semula kitab suci ini bersifat oral atau teks lisan yang tidak dituangkan dalam bentuk tulisan, tetapi pada perkembangan belakangan kitab suci itu “diresmikan” dalam bentuk dokumen tertulis. Apa yang disebut dengan “kitab suci” umumnya adalah teks tertulis, dan karena itulah dalam bahasa Inggris disebut sebagai “scripture” atau tulisan.
Dalam Islam, kitab suci utama, sebagaimana kita tahu semua, adalah Quran, istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “bacaan. Di samping Quran, ada kitab suci lain yang keududukannya bisa disebut sebagai tafsir atau penjelasan atas Quran, dan disebut hadis atau sunnah. Hadis adalah istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “omongan” atau “ujaran”. Sementara “sunnah” artinya tindakan yang dibiasakan sehingga menjadi suatu tradisi. Baik hadis atau sunnah adalah ujaran, tindakan atau penetapan (taqrir, confirmation) yang berasal dari Nabi Muhammad.

Kalau mau, kita bisa menyebut Quran sebagai Kitab Suci Perdana (primary Scripture), sementara Hadis atau Sunnah adalah Kitab Suci Kedua. Sebagai teks, jelas hadis lebih banyak jumlahnya ketimbang Quran. Dari segi isi dan tema, hadis memiliki cakupan pembahasan yang jauh lebih luas ketimbang Quran. Oleh karena itu, penggambaran bahwa hadis atau sunnah semata-mata sebagai “penjelas teks Quran” sebetulnya tidak tepat. Hadis dan sunnah tidak sekedar menjelaskan Quran. Dalam banyak hal, hadis juga membuka tema baru yang sama sekali tidak ada dalam Quran.

Contoh yang sederhana, dalam Quran tidak kita temukan pembahasan tentang jenis-jenis kegiatan manusia dalam perdagangan atau sejenisnya. Yang kita baca dalam Quran hanyalah penegasan umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang terkenal, “wa ahallal-Lahu al-bai’a wa harrama al-riba”, Tuhan membolehkan perdagangan, dan mengharamkan riba. Dalam Quran tidak disebutkan sejumlah transaksi-transaksi lain yang kita kenal melalui hadis dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam disiplin pengetahuan yang disebut fiqh atau hukum Islam. Transaksi itu misalnya: syirkah (kongsi dagang), mudarabah (permodalan), musaqah/muzara’ah (penggarapan tanah), salm (biasa diterjemahkan sekarang sebagai “future trading”), hawalah (penjualan surat hutang), dsb.

Itu hanya contoh-contoh transaksi yang disebutkan dalam hadis tetapi tidak kita temukan dalam Quran. Contoh-contoh itu saya pakai untuk menunjukkan bahwa hadis atau sunnah tidak semata-mata menjelaskan Quran, tetapi juga membawa tema baru yang tidak disebutkan di sana. Cakupan hadis lebih luas ketimbang Quran.

BAIK Quran dan sunnah bisa dikategorikan sebagai “foundational text”, teks dasar yang menjadi fondasi Islam. Karena kehidupan umat Islam terus berkembang, dan isu-isu baru yang dihadapi oleh mereka juga terus bermunculan, sementara itu tidak semua hal dan isu ada jawabannya dalam Quran dan sunnah, maka dibutuhkan “teks baru”. Teks itu, untuk mudahnya, kita sebut saja sebagai “interpretational text”, teks-teks tafsiran yang tentu didasarkan pada kedua teks fondasi di atas. Ribuan teks diproduksi atau ditulis oleh ulama, sarjana, dan intelektual Muslim sejak abad pertama Hijriyah hingga sekarang. Selama umat Islam ada, kegiatan untuk memproduksi teks-teks tafsiran ini tak akan berhenti.

Tafsir Quran, misalnya, ditulis oleh sarjana Islam sejak dahulu hingga sekarang, dalam berbagai bahasa, dan dengan berbagai ragam pendekatakan. Imam Ghazali, salah satu sarjana besar Islam dari abad ke-12 Masehi, menganalogikan Quran dengan samudera luas yang tak pernah kering. Analogi ini, sebetulnya, bisa kita pakai pula untuk kitab-kitab suci agama lain. Semua kitab suci dalam agama-agama manapun adalah seperti samudera luas yang tak bertepi. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi sumber inspirasi dan tafsiran yang tak kering-keringnya. Dalam agama Yahudi atau Kristen, teks-teks tafsiran atas kitab suci kedua agama itu terus diproduksi hingga sekarang. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi “foundational text”, teks dasar yang kemudian melahirkan sejumlah “interpretational text” yang jumlahnya terus berkembang, nyaris tanpa henti. Selama agama bersangkutan masih menjadi “a living religion” atau agama yang hidup, bukan “dead religion” (agama yang sudah mati), maka kegiatan memproduksi teks-teks tafsiran itu tak akan pernah berhenti.

Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan, maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan.

SALAH satu gagasan yang populer di kalangan umat Islam adalah konsep tentang Quran sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna . Konsep “kesempurnaan/kelengkapan” ini menjadi kian penting pada saat umat Islam merasakan adanya semacam “ancaman peradaban” yang datang dari luar saat ini. Kalau kita telaah tradisi penafsiran Quran pada periode klasik (yaitu antara abad ke-8 hingga ke-12 Masehi, periode di mana kegiatan intelektual dalam dunia Islam mencapai puncak kreativitasnya), sebetulnya konsep “kelengkapan/kesempurnaan” itu tidak terlalu mendapatkan perhatian yang khusus. Saat itu, sebagai sebuah peradaban, Islam sedang naik daun dan kemudian mencapai titik apek tertinggi. Karena sebagai peradaban Islam berada pada posisi yang dominan, maka konsep kelengkapan dan kesempurnaan tidak terlau ditonjol-tonjolkan oleh sarjana Islam ketika itu. Sebagai peradaban, Islam memang sudah unggul, jadi, kenapa pula mesti dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dan Quran adalah kitab yang lengkap?

Abad ke-20 menyaksikan perkembangan yang lain sama sekali. Umat Islam mundur dalam semua lapangan kehidupan. Sebagai peradaban, dunia Islam kalah jauh di banding dengan peradaban Barat. Dengan kata lain, sebagai peradaban, Islam disalip oleh peradaban lain. Bahkan, belakangan, ada perasaan bahwa umat Islam berada dalam ancaman dari luar. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang cendekiawan Muslim Mesir, Dr. Muhammad Husain Mu’nis, menyandang judul seperti ini, Hushununa Muhaddah Min Dakhiliha (Benteng Kita Terancam Dari Dalam). Pada periode sebelum revolusi Iran pecah pada 1979 dulu, salah satu istilah yang populer adalah “gharb zadegi” atau “west-toxification” atau keracunan kebudayaan Barat. Di kalangan umat Islam revivalis (contoh yang bagus adalah PKS atau golongan tarbiyah), ada istilah populer, yaitu “al-ghazw al-fikri” atau serbuan pemikiran.

Istilah-istilah itu menandakan satu hal: bahwa dunia Islam merasa diancam oleh suatu “musuh besar” yang datang dari luar. Musuh dari luar itu kemudian “meracuni” pemikiran anak-anak Islam sehingga dalam tubuh umat Islam muncul juga apa yang sering disebut sebagai “musuh-musuh dalam selimut”. Ancaman dari dalam inilah yang dengan baik digambarkan oleh judul buku yang ditulis oleh Dr. Mu’nis di atas. Keadaan ini menciptakan mentalitas-serangan atau “siege mentality” yang ciri-cirinya, antara lain, adalah menguatnya dorongan untuk menegaskan identitas diri. Penegasan identitas terjadi karena adanya dorongan untuk menciptakan semacam “benteng” sebagai perlindungan diri dari serangan luar. Di sinilah, konsep tentang “kesempurnaan dan kelengkapan” Islam dan Quran muncul ke permukaan sebagai sarana simbolik untuk melindungi identitas umat.

Tak ada yang mengherankan dalam proses tersebut. Itu adalah proses yang wajar dalam semua masyarakat umat manusia. Di mana-mana, saat suatu masyarakat terancam, tentu mereka akan membuat “self-defense mechanism,” mekanisme pertahanan-diri. Pertahanan itu bisa bersifat inderawi, misalnya pertahanan militer, tetapi juga bisa simbolik, dalam bentuk pertahanan budaya. Konsep tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran adalah salah satu bentuk “pertahanan budaya” yang dimobilisasi oleh umat Islam untuk menangkal serangan budaya dari luar.

MESKIPUN wajar, ada beberapa akibat negatif dari dari gagasan tentang kelengkapan dan kesempuraan itu. Salah satunya adalah sikap-sikap eksklusivistik atau tertutup terhadap golongan-golongan di luar agama sendiri, bahkan golongan dalam agama yang sama tetapi memiliki pandangan yang berbeda. Kenapa konsep tentang kelengkapan ini kemudian membuahkan sikap ketertutupan? Ini adalah pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Esai pendek ini jelas tidak memadai untuk menejelaskan gejala kejiwaan semacam itu. Mungkin butuh artikel tersendiri yang panjang dan mendalam untuk menjelaskan kecenderungan tersebut.

Namun, secara umum dan mungkin agak spekulatif, dapat dikatakan bahwa anggapan tentang kelengkapan dan kesempurnaan suatu budaya bisa membawa akibat lain, yaitu rasa superior budaya. Perasaan superior atau unggul bisa menyebabkan seseorang atau golongan tertentu memiliki rasa “cukup diri” (self sufficiency) secara kebudayaan, sehingga tak perlu belajar dari golongan lain. Jika saya atau kami sudah cukup, kenapa mesti mengambil dari yang lain? Dari sanalah, sikap tertutup itu muncul ke permukaan.

Tidak dalam semua kasus tentunya rasa superior membuat seseorang atau golongan tertutup dan eksklusif. Dalam kasus lain, seseorang atau golongan dengan penuh keyakinan membuka diri pada dunia luar justru karena dia merasa unggul dan di atas angin. Ini terjadi pada periode Islam klasik, saat peradaban Islam mencapai titik apek atau puncak. Pada periode itulah, umat Islam dengan tanpa khawatir dan was-was membuka diri pada peradaban lain, menyerapnya, dan mengolahnya kembali menjadi budaya milik sendiri, tanpa merasakan adanya ancaman yang datang dari luar.

Pada zaman di mana umat Islam merasakan ancaman dari luar di segala sektor kehidupan, terutama sektor kebudayaan, perasaan superior itu bukan mendorong keterbukaan, sebaliknya ketertutupan. Ini tercermin dalam hal-hal kecil seperti larangan untuk mengucapkan ucapan selamat hari raya kepada golongan dari agama lain, atau bahkan ketakutan bahkan untuk sekedar mengucapkan “al-salamu ‘alaikum” kepada mereka.

Literatur polemis yang mencoba membuktikan keunggulan Islam dan kesalahan ajaran-ajaran agama lain juga banyak bermunculan akhir-akhir ini. Yang kadang terjadi dalam perjumpaan antara umat Islam dengan umat lain adalah bukan perjumpaan dialogis, tetapi perjumpaan polemis. Yang saya maksud dengan perjumpaan polemis adalah perjumpaan yang hanya ditandai oleh usaha untuk “self-justification” atau menjustifikasi diri sebagai lebih benar dari sistem kepercayaan lain. Dalam konteks inilah kita berhadapan dengan “fenomena Deedat”, yakni fenomena debat Islam-Kristen yang dilakukan oleh seorang polemis kondang dari Afrika Selatan, Ahmad Deedat. Sikap serupa juga muncul dari kalangan di luar Islam, seperti kita saksikan dari sejumlah literatur polemis yang ditulis oleh kalangan Kristen evangelis di Amerika, misalnya.

Pandangan lain yang menurut saya kurang sehat yang muncul dari gagasan tentang kelengkapan/kesempuraan Quran ini adalah gagasan tentang “kemanunggalan tafsir” (uniformity of interpretation). Pandangan ini menganggap bahwa Quran adalah teks yang tembus pandang, transparan, jelas sekali, sehingga maknanya tidak mengandung ambivalensi. Quran dianggap sebagai kitab dengan tafsir tunggal, tidak mengandung kemungkinan banyak tafsir. Jika suatu ayat dikutip dalam sebuah diskusi, maka ayat itu diandaikan akan menghentikan perbedaan dan menyelesaikan masalah sebab tafsirnya satu dan tidak mengandung kemungkinan tafsir lain.

Pandangan semacam ini berbahaya, sebab ujungnya adalah memaksanakan satu tafsir yang diikuti oleh pihak tertentu kepada pihak-pihak lain. Secara historis, gagasan ini juga tidak benar dan tidak terbukti sama sekali, sebab dalam sejarah tafsir kitab suci Islam, tidak pernah kita temui ketunggalan tafsir. Sarjana Islam sejak dahulu mendekati Quran dengan berbagai pendekatan, dan setiap pendekatan membawa tafsir yang berbeda. Pendekatan filsafat terhadap Quran akan membawa tafsir yang berbeda dengan pendekatan mistik, hukum, teologi, atau kesejarahana. Dalam sejarah tafsir Quran, kita mengenal berbagai corak tafsir beragam.

Karena Quran dipandang sebagai teks dengan tafsir yang tunggal, maka kecenderungan lain juga muncul, yaitu menyesatkan tafsir yang dianggap berbeda dari tafsir ortodoks yang telah dianggap baku, pakem, dan mencerminkan satu-satunya kebenaran. Fenomena “menyesatkan” yang akhir-akhir ini sering kita lihat di kalangan umat Islam, menurut saya, akibat lanjutan dari cara gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan Quran itu.

JIKA demikian, apakah gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan itu salah? Jelas tidak. Hanya saja, konsep tentang kelengkapan/kesempurnaan itu harus ditafsir ulang agar tidak menimbulkan sikap-sikap keagamaan yang kurang tepat. Apakah yang dimaksud dengan kelengkapan dan kesempurnaan di sana? Apakah Quran dianggap sebagai kitab suci yang sempurna dalam pengertian memuat segala hal, dan memberikan jawaban atas segala-rupa masalah? Ataukah kelengkapan di sana artinya adalah kelengkapan dalam aspek akidah, etika pokok, dan norma umum?

Dalam pandangan saya, jika konsep kelengkapan Quran dipahami dalam pengertian yang pertama, yaitu Quran memuat segala hal dan menjawab segal hal, jelas tidak benar . Dengan membaca Quran secara sekilas saja, kita akan tahu bahwa banyak hal yang tidak dimuat dalam Quran. Contoh yang sederhana adalah perdebatan soal status rokok: boleh atau tidak, haram, halal, atau makruh (tidak dianjurkan)? Fatwa terakhir yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan bahwa merokok adalah haram. Tetapi, di lingkungan Muhammadiyah sendiri, fatwa itu tidak disetujui oleh semua kalangan, apalagi di luar Muhammadiyah.

Kalau kita merujuk kepada Quran, jelas tidak ada jawaban mengenai status rokok. Yang ada hanyalah norma umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang populer, “wa la tulqu bi aidikum ila al-tahlukah,” jangan menjerumuskan diri kalian ke dalam tindakan yang membawa kerusakan. Ayat ini hanya memuat norma umum saja, dan tidak bisa langsung dan serta-merta dipahami sebagai deklarasi tentang haramnya merokok. Contoh ini hanya untuk memperlihatkan bahwa Quran tidak memuat semua hal, dan tidak menjawab semua masalah. Oleh karena itu, jika yang dimaksud dengan gagasan kelengkapan Quran adalah bahwa kitab suci itu memuat segala hal, sempurna dalam pengertian yang harafiah, maka jelas anggapan itu tidak benar. Contoh status rokok di atas adalah ilustrasi yang baik.

Kesempurnaan Quran harus dipahami dengan cara lain, yakni kesempurnaan pada aspek akidah dan norma umum. Norma-norma umum inilah yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para sarjana Islam menjadi norma khusus. Salah satu contoh bagus sebagai ilustrasi adalah ayat yang sering dikutip, yaitu “wa amruhum shura bainahum,” dan urusan mereka dibicarakan secara musyawarah di antara mereka sendiri. Ayat ini hanya mengandung norma umum tentang pujian terhadap tindakan musyawarah. Ayat ini tidak secara khusus mendukung atau menolak, misalnya, konsep demokrasi, terutama demokrasi parlementer. Quran sendiri tidak memuat jawaban yang sifatnya khusus tentang demokrasi. Karena itu, ada banyak perbedaan di kalangan Islam sendiri, apakah demokrasi sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Ada kalangan, jumlahnya sangat sedikit, yang berpandangan bahwa demokrasi tidak Islami. Salah satu yang berpandangan seperti ini adalah pemikir asal Pakistan, Abul Ala al-Maududi. Kalangan aktivis Hizbut Tahrir juga mempunyai pandangan yang serupa.

Tetapi, sebagian besar umat Islam berpandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak saling bertentangan, bahkan demokrasi dianggap sebagai perwujudan dari etika musyawarah (syura) yang dengan tegas disebut dalam Quran di atas.

Pemahaman tentang kelengkapan yang kedua ini lebih bersifat terbuka dan juga membuka diri pada perbedaan. Kelengkapan Quran bukan pada aspek norma khusus, tetapi norma umum. Sementara itu, terjemahan norma umum yang terdapat dalam Quran pada situasi kongkrit harus dilakukan sendiri oleh sarjana Muslim. Proses penerjemahan itu disebut dengan ijtihad atau penalaran berdasarkan akal, konteks, dan kerangka etika umum Quran/sunnah, berikut tradisi penalaran/penafsiran yang sudah berkembang sejauh ini dalam Islam. Dalam proses penerjemahan itu, jelas akan terjadi perbedaan di kalangan umat Islam sendiri. Norma umum dalam Quran hanyalah panduan umum saja; terjemahannya dalam situasi yang kongkret tidak serta merta mudah, dan juga tidak serta merta menimbulkan kesatuan pandangan. Dalam contoh rokok dan demokrasi di atas kita melihat bagaimana norma umum dalam Quran dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai-bagai kalangan dalam Islam saat mereka harus menjawab suatu kasus atau situasi kongkrit.

Selebihnya, yang harus dibangun adalah etika perbedaan (adab al-ikhtilaf). Karena perbedaan dalam menerjemahkan etika umum Quran tidak terhindarkan, maka tidak selayaknya masing-masing pihak yang berbeda saling “adu” kleim kebenaran, dan menyesatkan pihak lain yang berbeda. Sikap saling-menyesatkan, bahkan lebih jauh lagi meng-kafir-kan, jelas tidak sehat dalam rangka membangun iklim pemikiran-kebudayaan yang dialogis dalam tubuh umat Islam. Etika syura atau musyawarah yang dianjurkan dalam Quran mengajarkan agar perbedaan disikapi secara positif. Terjemahan sikap yang positif terhadap perbedaan adalah “diskursus” atau saling bercakap dan bertukar pikiran dan ujaran. Itulah yang disebut dengan praktek syura atau musyawarah sebagaimana dikehendaki oleh Quran. Sudah tentu, dalam diskursus itu, bisa terjadi proses saling kritik, koreksi, oto-kritik, dan sebagainya.

Inilah tafsiran tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran yang menurut saya lebih sehat, sebab tidak mengandaikan rasa superioritas yang pada akhirnya mengarah kepada sikap tertutup.****

Read More..

Tentang penafsiran Quran dan demokratisasi tafsir Ulil Abshar-Abdalla on July 9th, 2010

ADA anggapan di sebagian kalangan Islam bahwa melakukan penafsiran kembali atas sejumlah doktrin, ajaran, atau norma dalam Islam dianggap sebagai penghinaan atas agama itu. Menafsir adalah tindakan penghinaan. Begitu juga, menafsirkan satu-dua ayat atau hadis dengan cara yang tidak sesuai dengan pandangan ortodoks, yakni pandangan yang dianut oleh sebagian besar umat, juga dipandang sebagai semacam sacrilege, atau penghinaan atas agama dan kitab suci.
Apakah anggapan semacam ini benar? Jawaban saya sederhana: sama sekali tidak benar. Menafsirkan ajaran Islam dengan sudut pandang yang berbeda dengan pendapat umum bukanlah penghinaan atas Islam, agama atau kitab suci. Sejak awal, teks Quran selalu ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang oleh ulama dan sarjana Islam. Metode penafsiran Quran juga berkembang terus sesuai dengan tahap-tahap perkembangan peradaban Islam. Pada periode awal perkembangan Islam, belum kita jumpai sejumlah disiplin keilmuan yang kompleks dan bercabang-cabang seperti kita lihat pada perkembangan Islam belakangan, terutama saat peradaban Islam mencapai puncak kreativitas dan kemajuannya pada abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Karena itu, tafsiran atas Quran pada periode awal itu juga sangat sederhana.

Tetapi lihat apa yang terjadi belakangan, ketika ilmu-ilmu dalam Islam berkembang luas dan menjadi canggih. Pada tahap itulah, kita lihat sejumlah model tafsiran atas Quran yang makin canggih dengan pendekatan yang makin beragam. Tafsir yang begitu voluminous (berjilidi-jilid) yang ditulis oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209), berjudul Mafatih al-Ghaib (Kunci-Kunci Menuju Dunia Yang Tersembunyi) yang terdiri dari 32 jilid (edisi Dar al-Fikr, Lebanon, 1981), jelas tidak akan pernah lahir pada zaman awal Islam, zaman ketika cabang-cabang ilmu Islam belum berkembang pesat. Tafsir semacam ini lahir setelah cabang-cabang pengetahuan dalam Islam berkembang begitu jauh.

Dalam tafsir ini, al-Razi berusaha menafsirkan Quran dengan memakai seluruh pendekatan yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu yang ada pada zamannya. Dalam tafsirnya itu, kita bertemu dengan ayat-ayat Quran yang ditafsirkan oleh al-Razi dengan pendekatan gramatikal (nahw/sharf), teori sastra (balagha), hadis, fiqh (hukum Islam), filsafat, teologi, sejarah, mistik/tasawwuf, astronomi, logika (manthiq), dsb. Tak heran, jika tafsir al-Razi tersebut begitu tebal jumlah halamannya, karena dia mencoba memobilisasi seluruh khazanah intelektual yang ada pada zamannya untuk menafsirkan Quran.

Dengan kata lain, tafsir atas Quran, juga hadis, berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu yang ada dalam masyarakat Islam. Oleh karena itu, tafsiran atas Quran, termasuk tafsiran yang berbeda dengan pandangan ortodoks yang sudah mapan, tidak bisa dipandang sebagai penghinaan atas ajaran Islam.

Jika tafsir terus berkembang, apakah dengan demikian Quran bisa ditafsirkan dengan seenaknya tanpa batas? Ini adalah pertanyaan yang sering saya dengar dari banyak kalangan. Sudah tentu, Quran, sebagaimana kitab suci dalam agama manapun, tidak bisa ditafsirkan dengan “seenaknya”. Setiap tafsir tentu mempunyai batas-batasnya sendiri. Tidak ada tafsir yang bergerak bebas seenaknya, tanpa diikat oleh suatu batas tertentu. Yang menjadi masalah adalah, siapa yang menentukan batas itu, apakah batas tersebut statis atau bergerak/berubah terus, apakah batas-batas itu berkembang sesuai dengan perkembangan piranti intelektual yang ada pada umat manusia atau tidak, dst.

Sebelum dibatasi oleh yang lain-lain, setiap penafsiran, termasuk penafsiran Quran, jelas dibatasi oleh tradisinya sendiri. Quran sudah hadir dalam masyarakat Islam lebih dari 14 abad, waktu yang jelas sangat panjang sekali. Dalam rentang waktu sepanjang itu, berkembang segala corak penafsiran atas Quran yang dipengaruhi, sebagaimana saya katakan tadi, oleh sejumlah cabang-cabang pengetahuan yang ada pada zamannya. Sejarah Quran yang begitu panjang itu jelas melahirkan suatu “tradisi penafsiran” tersendiri. Sebelum diikat dan dibatasi oleh yang lain-lain, saat menafsirkan Quran, seorang penafsir jelas dibatasi oleh tradisi itu.

Jika anda ingin menjadi seorang “penafsir profesional” dan hendak menafsirkan Quran, maka sudah seharusnya anda membaca segepok tafsir yang pernah dikerjakan oleh para penafsir yang telah mendahului anda, bukan sebagai pakem yang harus diikuti secara harafiah, mentah-mentah, tetapi sebagai semacam rujukan awal, sebagai term of reference. Sama dengan seorang ilmuwan yang bekerja pada bidang manapun: dia akan diikat oleh tradisi keilmuan dalam disiplin di mana dia bekerja. Seorang fisikawan yang bekerja dalam fisika murni, misalnya, jelas tak bisa mengabaikan pekerjaan yang sudah dilakukan oleh para ilmuwan sebelumnya. Dia tak bisa mengabaikan nama-nama besar seperti Isaac Newton atau Werner Heisenberg, misalnya. Setiap ilmuwan selalu bersandar pada pundak para raksasa pengetahuan yang datang sebelumnya. Ini adalah kaidah dasa r yang berlaku dalam semua bidang pengetahuan.

Hal serupa juga terjadi pada kegiatan penafsiran Quran. Setiap kegiatan penafsiran Quran jelas dibatasi oleh tradisi penafsiran yang terbentuk selama ratusan tahun. Seorang penafsir Quran tidak bisa mengabaikan pekerjaan besar yang sudah dilakukan oleh para “raksasa tafsir” sebelumnya seperti al-Tabari, al-Qurtubi, al-Razi, dll. Mereka adalah “the giants in the history of Quranic interpretation”, raksasa-raksasa dalam sejarah penafsiran Quran. Mereka semuanya ambil bagian dalam membentuk apa yang tadi saya sebut sebagai “tradisi penafsiran”. Tradisi inilah yang pertama-tama membatasi setiap kegiatan menafsir.

Tetapi, yang tak boleh kita lupakan adalah bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang sifatnya statis atau berhenti. Tradisi adalah entitas yang sifatnya dinamis. Tradisi juga bukan benda yang hadir ujug-ujug. Tradisi adalah sesuatu yang lahir karena ada manusia yang membentuknya. Dengan kata lain, tradisi adalah sesuatu yang dikonstruksi atau dibentuk oleh manusia. Begitu juga tradisi penafsiran Quran: ia bukanlah entitas yang lahir ujug-ujug sekali jadi, tanpa suatu sejarah. Tradisi penafsiran Quran, misalnya, dibentuk dan diciptakan oleh manusia-manusia yang selama ini bekerja dalam lapangan penafsiran. Mereka sering disebut sebagai mufassir, atau dalam bahasa Inggris disebut exegete. Masing-masing mufassir seperti menyumbangkan satu batu bata yang akhirnya membentuk rumah besar yang disebut dengan tradisi penafsiran itu.

Karena tradisi dibentuk dan diciptakan, maka ia bisa juga diubah dan karena itu juga berkembang. Dalam tradisi penafsiran Quran, misalnya, dikenal semacam syarat-syarat kompetensi tertentu untuk menafsirkan Quran, antara lain harus menguasai bahasa Arab. Syarat ini bukan syarat “suci” yang tidak bisa dibantah. Sebagian besar kalangan tentu setuju dengan syarat ini; tetapi sebagian kalangan yang lain tidak menyetujuinya. Karena Quran sudah hadir dalam bentuk terjemahan, maka akses terhadapQuran bukan menjadi monopoli mereka yang mengerti bahasa Arab saja. Mereka yang tidak setuju dengan syarat ini berpandangan bahwa Quran bukanlah kitab suci milik bangsa Arab belaka; sebaliknya ia adalah, mengutip sebuah ayat dalam Quran, “hudan li al-nas”, petunjuk bagi manusia, siapa saja, tanpa melihat asal-usul kebangsaan dan suku mereka. Pesan Quran, menurut mereka, bisa dipahami dengan bahasa apa saja, dan karena itu “wewenang menafsir” bukanlah monopoli mereka yang hanya menguasai bahasa itu. Pandangan yang menganggap bahwa wewenang menafsir hanya ada pada mereka yang menguasai bahasa Arab sama saja dengan melakukan “ethnification of the Quran”, yakni menjadikan teks Quran sebagai teks yang melekat dengan etnik tertentu. Ini hanya kasus kecil saja untuk memperlihatkan bahwa dalam tradisi penafsiran Quran itu juga kita jumpai perbedaan tentang syarat-syarat kompetensi untuk menafsir.

Masalah lain yang bisa diangkat ke permukaan, misalnya, adalah: Apakah penafsiran atas Quran hanya menjadi monopoli mereka yang secara formal menyandang gelar ulama atau kiai, yaitu mereka yang telah menjalani “academic training” atau pendidikan ilmiah di bidang ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyyah)? Saya cenderung berpendapat bahwa penafsiran bukanlah monopoli para ulama saja, dengan asumsi bahwa ulama di sini adalah mereka yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu agama. Istilah “ulama” mungkin juga harus diperluas pengertiannya.

Ulama mestinya bukanlah hanya mereka yang ahli di bidang ilmu-ilmu keagamaan saja, tetapi mereka yang memenuhi dua unsur utama: yaitu keahlian (expertise) di bidang-bidang yang relevan dengan keahlian orang bersangkutan, plus etos yang dalam Quran disebut sebagai “khasy-yah” yang sering diterjemahkan sebagai “takut Tuhan”. Saya ingin memaknai istilah khasy-yah ini dalam pengertian yang jauh lebih mendasar: yaitu ilmuwan yang mencari kebenaran berdasarkan norma-norma yang ditentukan oleh disiplin di mana dia bekerja, bukan menundukkan disiplin itu kepada norma dari luar. “Takut Tuhan” saya maknai di sini sebagai kesadaran untuk terus mencari sumber kebenaran, sebab Tuhan, sebagaimana dalam al-asma’ al-husna (nama-nama Tuhan yang indah sebagaimana dikenal dalam tradisi Islam), disebut sebagai al-Haqq, Yang Benar, Sumber Kebenaran. Siapapun yang memenuhi dua kualifikasi ini bisa disebut seabgai seorang ulama. Gelara itu bukanlah milik mereka yang ahli di bidang ilmu-ilmu agama belaka. Ulama adalah kategori jenerik yang artinya adalah “orang yang menguasasi bidang pengetahuan”.

Ringkasnya: tradisi penafsiran memang membatasi seorang penafsir, tetapi tradisi itu sendiri bukanlah benda yang sifatnya statis; sebaliknya, dia berubah, sesuai dengan perubahan piranti pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dengan perkembangan piranti pengetahuan yang begitu canggih seperti saat ini, sudah semestinya kegiatan penafsiran atas Quran bisa lebih maju lagi dari kondisi yang ada sekarang.

Teks Quran memang tidak bisa disamakan dengan teks-teks “sekuler” lain, seperti teks bacaan pada umumnya. Dia adalah teks yang dipercaya sebagai teks suci oleh umat Islam, dan karena itu penafsiran atas teks semacam ini selalu merupakan tindakan yang sensitif. Hal ini bukan gejala khas dalam Islam, tetapi dalam hampir semua teks suci yang lain. Ada sejumlah rambu-rambu “angker” yang sengaja dibuat oleh “penjaga teks” itu agar kegiatan penafsiran tidak secara sembarangan dikerjakan oleh siapa saja, agar penafsiran tidak membawa pandangan-pandangan yang bertentangan dengan “pandangan ortodoks” yang sudah baku. Anggapan yang saya sebut di awal tulisan ini, yaitu bahwa penafsiran atas kitab suci bisa mengarah kepada sacrilege atau penodaan atas kesucian teks, adalah bagian dari cara penjaga ortodoksi (=pandangan yang dianggap paling benar dalam sebuah agama atau sistem kepeercayaan) untuk melindungi teks suci itu. Ini adalah gejala the politics of interpretation, politik penafsiran, yang biasa terjadi dalam semua tradisi teks suci, termasuk dalam kasus Quran juga. Banyak penafsir yang dianggap melakukan tindakan infidelity atau kekafiran hanya karena melakukan studi atas Quran dan membawa kesimpulan yang tidak sepenuhnya cocok dengan para ulama, penjaga paham ortodoks. Bukankah gejala serupa juga pernah kita lihat pada zaman Orde Baru dulu, di mana penafsiran atas Pancasila hanya bisa dilakukan oleh negara atau oleh para “penafsir negara” yang sudah mendapatkan “restu politik” dari the power that be. Mereka yang secara partikulir melakukan penafsiran atas Pancasila, dan dengan cara yang “liar”, berlawanan dengan ideologi negara, maka yang bersangkutan bisa ditangkap dan dipenjarakan. Keadaan serupa, kurang lebih, kita lihat juga dalam konteks penafsiran teks suci, termasuk Quran.

Kedudukan Quran sebagai teks suci jelas tidak saya sangkal. Yang saya persoalkan adalah “politik penafsiran” yang sengaja diciptakan oleh penjaga paham ortodoks untuk melindungi “kesucian” paham tertentu agar tidak diganggu oleh penafsiran-penfsiran baru yang dianggap “menyimpang”. Sebagaimana kita mengalami demokratisasi politik saat ini, kita juga membutuhkan suatu kondisi penafsiran yang lebih demokratis lagi dalam tubuh umat Islam. Demokratisasi penafsiran bisa ditandai oleh banyak hal. Antara lain: pendekatan tafsir yang kian terbuka pada perkembangan baru dalam teori-teori penafsiran belakangan yang biasa dikenal dengan filsafat hermeneutika. Ketika saya mengatakan “terbuka” terhadap pendekatan baru dari luar, bukan berarti pendekatan baru itu harus dipraktekkan secara mentah-mentah tanpa melalui proses “aklimatisasi” atau penyesuaian dengan tradisi hermeneutik yang ada dalam Quran. Aklimatisasi dan akulturasi dengan tradisi Quran sendiri jelas sangat penting dan merupakan keharusan.

Ciri lain dalam demokratisasi penafsiran: terkikisnya kecenderungan untuk menganggap bahwa tafsir yang berbeda secara mendasar dengan tafsir ortodoks sebagai tafsir sesat. Tradisi menyesatkan tafsir yang berbeda harus digantikan dengan tradisi lain yang lebih demokratis, yaitu dialog antar penafsiran yang berbeda. Sebutan yang pas untuk tafsir yang bertentangan dengan tafsir dominan bukan “tafsir sesat” tetapi “tafsir yang berbeda”. Konsep atau etos yang perlu dikembangkan bukan ethos of deviation, sebaliknya ethos of difference. Yang perlu dikembangkan adalah cara pandang yang melihat tafsir yang tidak sama sebagai tafsir berbeda, bukan tafsir menyimpang.

Hanya dengan cara seperti inilah kita bisa mengembangkan tradisi pemikiran dan kehidupan keagamaan yang sehat di masa mendatang.[]

Read More..

Hermeneutika

Kritik bentuk

Kritik bentuk merupakan salah satu metode dari penafsiran Alkitab. Kritik bentuk sebenarnya mengkonsentrasikan pada bagian-bagian teks yang lebih luas, bahkan hingga seluruh kitab, akan tetapi secara keseluruhan metode ini menaruh perhatian lebih pada unit atau bagian terkecil yang lebih singkat dari suatu teks atau tulisan. Kritik bentuk ini meneliti proses penyampaian berita (yang ditulis berupa teks), dimulai dari bentuk pewartaan secara lisan (dari mulut ke mulut) hingga bentuk tertulis yang kita miliki sekarang ini.

Oleh karena itu kritik bentuk ini adalah aspek dari pendekatan kritis yang meneliti bentuk, isi, dan fungsi unit yang khusus dan menilai apakah semuanya itu cukup jelas dan cukup unik sehingga dapat dimasukkan ke dalam salah satu golongan serta menafsirkannya sebagai salah satu bentuk. Proses meneliti bentuk tersebut adalah dengan cara menemukan faktor-faktor dalam pola yang sama yang dapat dijelaskan dan ditentukan ciri-ciri dan tolok ukurnya secara jelas, sehingga teks dapat digolongkan ke dalam sebuah bentuk tertentu. Setelah kita meneliti bentuk (sebuah teks) dengan seksama maka kita mendapatkan sebuah hubungan langsung antara bentuk dan isi sastra dari sebuah teks.
[sunting] Tujuan dan fungsi

Seperti dikatakan tadi, kritik bentuk ini mengkonsentrasikan teks secara lebih luas. Kritik bentuk ini berusaha menjelaskan dalam keadaan sosial dan dalam keadaan atau kesempatan yang bagaimanakah bentuk-bentuk itu memiliki peran. Di dalam situasi kehidupan sosial yang bagaimanakah suatu bentuk (dari teks) dapat dijumpai. Di dalam situasi kehidupan sosial yang tertentu sangat menentukan bentuk dan gaya-gaya sastra yang tertentu pula.

Kritik bentuk memberikan analisa terhadap suatu teks yang terdapat di dalam Alkitab. Kritik bentuk tersebut menunjukkan kepada kita, apa yang menjadi bentuk dari teks tersebut. Analisa yang diberikan oleh kritik bentuk ini disebut sebagai periode lisan. Periode lisan menjadi awal terjadinya peristiwa di dalam kehidupan Yesus dan waktu terjadinya dituliskan di dalam Injil. Periode lisan inilah yang menjadi bukti bahwa penafsiran suatu teks bisa bervariasi. Awalnya, cerita tersebut di beritakan secara lisan, yaitu dari mulut ke mulut. Dari hasil pemberitaan cerita-cerita tersebut lahirlah penafsiran-penafsiran yang berbeda dari setiap penerima cerita tersebut. Para pendengar cerita-cerita tersebut pun mengajarkannya di dalam peribadahan dalam gereja mula-mula. Cerita-cerita tersebut disampaikan berdasarkan suasana kehidupan jemaat mula-mula pada saat itu. Kritik bentuk juga melihat dampak dari cerita tersebut terhadap orang-orang di sekitarnya. Cerita-cerita menanggapi kebutuhan jemaat mula-mula. Para ahli memberi istilah Sitz im Leben (bahasa Jerman, yang artinya kedudukan dalam kehidupan) untuk kritik bentuk. Tiap-tiap bentuk sastra dipakai dengan alasan tertentu dan untuk menanggapi keperluan hidup tertentu.

Perjanjian Baru terdiri dari empat ragam, yaitu: Injil, Kisah Para Rasul, Surat-Surat, dan Kitab Wahyu. Kitab Injil memiliki berbagai macam bentuk, yaitu: perkataan-perkataan, cerita mujizat, perumpamaan-perumpamaan, legenda (mengenai kelahiran Yesus), dll. Sedangkan pada surat-surat pada Perjanjian Baru terdapat bentuk nyanyian, doa, ringkasan khotbah, kata-kata nasihat, dan bentuk pengakuan iman. Dimensi kritik bentuk yang demikian ini menekankan hubungan yang maha pentingantara jenis sastra, lingkungan social dan kelembagaannya yang khusus serta latar belakang budayanya secara keseluruhan. Melalui Kritik bentuk kita para pembaca dibantu untuk melihat adanya tiga ragam situasi kehidupan dalam pemberitaan Injil: lingkungan kehidupan ‘Yesus, lingkungan kehidupan jemaat, dan lingkungan injil sebagaimana kita miliki sekarang. Oleh karena itu, kritik bentuk adalah berusaha menemukan sejarah sastra Alkitab yang lengkap dan hidup, khususnya untuk mendapatkan pemahaman mengenai tahap perkembangan lisannya, dan untuk meletakkan semua tahap perkembangan ke dalam konteksnya dalam kehidupan bangsa Israel dan gereja mula-mula.
[sunting] Kritik Tradisi

Saat ini kita akan membahas mengenai kritik tradisi yang merupakan salah satu metode yang dapat dipakai dalam menafsirkan teks-teks Alkitab. Tradisi merupakan hal yang lazim ada pada setiap kebudayaan, karena tradisi mengungkapkan pemahaman diri bangsa-bangsa, pengertian mereka tentang masa lalu, dan berbagai hal yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Biasanya, tradisi diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk cerita, perkataan, nyanyian, puisi, kepercayaan dll. Metode yang akan kita bahas; kritik tradisi, terfokus pada tradisi-tradisi yang digunakan dalam perjalanan suatu masyarakat.

Sebelum menjadi suatu kesatuan yang padu, teks-teks Alkitab memiliki tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangannya sendiri (ada yang dalam jangka waktu yang panjang ataupun sebaliknya), memang tidak semua teks mengalami hal ini tetapi sebagaian besar teks Alkitab melalui proses ini dan tradisi menjadi salah satu bagian penting dalam perjalanan teks-teks tersebut. Dengan kenyataan seperti itu kritik tradisi pun dapat menjadi metode yang sangat bermanfaat untuk melakukan pendekatan pada teks-teks Alkitab. Dalam hal ini, Pentateukh dapat menjadi contoh yang tepat karena Pentateukh mengalami tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam jangka waktu yang lama. Kita dapat menemukan banyak penyuntingan yang dilakukan dalam kronologi waktu yang berbeda. Kekhasan dalam unsur-unsur sastra di dalamnya, penggunaan bahasa, gaya penulisan, sumber-sumber dst sehingga menunjukkan perbedaan teks, secara tidak langsung menunjukkan lamanya perjalanan teks tersebut dengan tradisi yang juga berbeda-beda (tradisi Y, E, D, dan P). Sedangkan Injil dapat menjadi contoh yang tepat bagi teks-teks yang juga melalui perjalanan tahapan teks tetapi dalam jangka waktu yang relativ lebih pendek.

Masa yang dilalui teks sebelum menjadi Alkitab, sering digolongkan menjadi periode lisan dan tulisan. Cerita-cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut dalam periode lisan diperlakukan sebagai tradisi yang dianggap cukup berharga dan suci untuk diteruskan ke generasi berikutnya. Menurut buku Pedoman Penafsiran Alkitab, istilah tradisi merujuk pada apa yang diteruskan ke generasi berikutnya baik suci atau tidak, tetapi dalam konteks PL dan PB tentu saja cerita yang dianggap suci dan normative bagi orang percayalah yang diteruskan. Kritik tradisi dapat diterapkan juga pada periode tulisan.

Cara bagaimana suatu tradisi bertumbuh dan berkembang dapat dilihat juga pada tulisan-tulisan zaman modern . Misalnya dalam buku nyanyian gereja. Seringkali kita temukan versi yang berbeda. Ada yang berisikan tiga bait, ada yang lima bait. Kata-kata pada buku nyanyian yang satu berbeda dari buku nyanyian yang lain. Jika kita mencoba untuk memahami versi tertentu dari sebuah nyanyian, maka akan banyak pertanyaan yang muncul. Apakah ini versi yang asli? Atau, apakah ada yang lebih asli dari sebelumnya, dsb. Ini berarti bahwa nyanyian sudah menjadi tradisi atau “ditradisikan”. Nyanyian itu muncul pada satu waktu kemudian disebarluaskan dan diubah-ubah sampai nyanyian itu kini dapat kita temukan dalam berbagai bentuk.

Begitu pun Alkitab. Seringkali tulisan-tulisan Alkitab memperlihatkan pertumbuhan yang serupa yang terletak dibalik sebuah teks tertentu. Itu dapat kita lihat pada kitab PL tentang perintah pemeliharaan hari Sabat dalam Keluaran 20:8-11. Ketika kita melihat isi dan strukturnya, kita akan menemukan satu versi lain dalam Ulangan 5:12-15, dan yang lebih penting lagi keduanya terdapat beberapa perbedaan. Diantaranya, kitab Keluaran lebih pendek beberapa baris. Isi dari kedua kitab ini pun berbeda. Dalam kitab Keluaran, pemelihaaan hari Sabat dikaitkan dengan penciptaan dunia, sedangkan dalam kitab Ulangan, pemeliharaan hari Sabat didasarkan pada pembebasan dari mesir. dari hal-hal ini kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana dua versi dari perintah yang sama di dalam Dasa Titah berkaitan satu dengan yang lain? Versi yang panjang lebih tua atau yang pendek yang lebih tua? Bagaimana menjelaskan adanya dua dasar teologi yang satu sama lain berbeda untuk pemeliharaan hari Sabat, dsb. Itulah pertanyaan yang diajukan oleh kritik tradisi. Kritik tradisi mengakui bahwa dua versi dari perintah yang sama itu merupakan bentuk akhir sastra yang muncul dari suatu proses pembentukan dan perkembangan yang panjang. Dengan didasarkan pada pengamatan isi, struktur dan konteksnya, yang menjdai perhatian dari kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksinya.

Cara bagaimana suatu tradisi bertumbuh dan berkembang dapat dilihat pada tulisan-tulisan zaman modern . Misalnya dalam buku nyanyian gereja. Seringkali kita temukan versi yang berbeda. Ada yang berisikan tiga bait, ada yang lima bait. Kata-kata pada buku nyanyian yang satu berbeda dari buku nyanyian yang lain. Jika kita mencoba untuk memahami versi tertentu dari sebuah nyanyian, maka akan banyak pertanyaan yang muncul. Apakah ini versi yang asli? Atau, apakah ada yang lebih asli dari sebelumnya, dsb. Ini berarti bahwa nyanyian sudah menjadi tradisi atau “ditradisikan”. Nyanyian itu muncul pada satu waktu kemudian disebarluaskan dan diubah-ubah sampai nyanyian itu kini dapat kita temukan dalam berbagai bentuk.

Begitu pun Alkitab. Seringkali tulisan-tulisan Alkitab memperlihatkan pertumbuhan yang serupa yang terletak dibalik sebuah teks tertentu. Itu dapat kita lihat pada kitab PL tentang perintah pemeliharaan hari Sabat dalam Keluaran 20:8-11. Ketika kita melihat isi dan strukturnya, kita akan menemukan satu versi lain dalam Ulangan 5:12-15, dan yang lebih penting lagi keduanya terdapat beberapa perbedaan. Diantaranya, kitab Keluaran lebih pendek beberapa baris. Isi dari kedua kitab ini pun berbeda. Dalam kitab Keluaran, pemelihaaan hari Sabat dikaitkan dengan penciptaan dunia, sedangkan dalam kitab Ulangan, pemeliharaan hari Sabat didasarkan pada pembebasan dari mesir. dari hal-hal ini kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana dua versi dari perintah yang sama di dalam Dasa Titah berkaitan satu dengan yang lain? Versi yang panjang lebih tua atau yang pendek yang lebih tua?

Bagaimana menjelaskan adanya dua dasar teologi yang satu sama lain berbeda untuk pemeliharaan hari Sabat, dsb. Itulah pertanyaan yang diajukan oleh kritik tradisi. Kritik tradisi mengakui bahwa dua versi dari perintah yang sama itu merupakan bentuk akhir sastra yang muncul dari suatu proses pembentukan dan perkembangan yang panjang. Dengan didasarkan pada pengamatan isi, struktur dan konteksnya, yang menjdai perhatian dari kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksinya.

Kritik tradisi juga bergantung pada tekhnik-tekhnik penafsiran, dimensi sejarah dan kesusestraan. Kritik tradisi dalam tulisan alkitabiah terdapat banyak tulisan yang menunjukkan suatu proses penerusan tradisi yang masih berlangsung. Contohnya, terdapat pada pentateukh, selain itu Keluaran dan Ulangan ( yang terdapat dalam Perjanjian lama ) tradisi tentang perjalanan di padang gurun. Hal ini memiliki arti tradisi penderitaan yang menceritakan pengharapan akan kebebasan. Kebebasan dalam tulisan alkitabiah juga disesuaikan pada tradisi yang ada. Kritik tradisi memperoleh hasil yang bersifat hipotesis. Perlu diketahui juga untuk menafsirkan secara pendekatan kritik tradisi harus memerhatikan pemilahan bentuk-bentuk khusus teks, menyusunnya dalam urutan kronologis dan menafsirkan pelbagai aspek tahap-tahap perkembangan.
[sunting] Catatan kaki

1Bernard Ramm, Protetant Biblical Interpretation, trans. Silas C.Y. Chan (Monterey Park, Ca.: Living Spring Publishing, 1983), hal. 10. Arndt and Gingrich, A Greek-English Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The Univ, of Chicago Press, 1957), hal. 309-310.
[sunting] Daftar pustaka

* Sutanto, Hasan, Hermenutik - Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab.1998. SAAT: Malang
* Fee, Gordon D. & Douglas Stuart. Hermeneutik - Bagaimana Menafsirkan Firman Tuhan dengan Tepat. 1998. Gandum Mas: Malang
* Hayes John H. dan Holladay Carl R., Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
* Rogerson, John : Perjanjian Lama Bagi Pemula : Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006
* Radjagukguk, Robinson : Apa itu Penelitian Bentuk di dalam Forum Biblika No.8 1998

Read More..

Islam Dinamis Menentang Islam Stagnan

Islam Dinamis Menentang Islam Stagnan
Oleh Badarus Syamsi

1. Pemahaman keislaman kita sebaiknya terus-menerus mengalami pembaharuan, evaluasi, proses belajar-diajar dan dialog untuk menuju kesempurnaan.
2. Suatu kekeliruan besar yang harus dihindari manakala ada kaum Muslim yang menjadikan pemahaman keislamannya sebagai “Blue Print”, yang harus dipegangi oleh semua kaum Muslim. Harus diingat bahwa satu pemahaman terhadap Islam merupakan satu usaha untuk meraba-raba maksud Tuhan, yang hal itu bisa benar dan bisa salah. Yang terbaik adalah bagaimana suasana dialogis dengan pencari kebenaran yang lain terus-menerus dihidupkan untuk menemukan titik kesalahan pemahaman keislaman kita dalam rangka mencapai tingkat kebenaran yang lebih sempurna.

Prolog
Jangan sampai seorang muslim mengklaim Islamnya sebagai Islam yang paling benar, hingga tergoda untuk menjadikannya dimiliki orang lain atau tergoda untuk menjadikannya sebagai pedoman untuk semua. Semua pemahaman Islam kita seharusnya perlu diperbaharui dari waktu ke waktu dengan jalan belajar, mengkaji dan yang lebih penting lagi adalah mendialogkannya.


Islam tidak akan berkembang seandainya tidak ada orang yang mencoba menafsirkannya, mengartikulasikannya dalam kehidupan keseharian, meskipun oleh orang yang rendah pengetahuannya sekalipun. Jangan berharap bahwa penafsiran dan upaya pemahaman atas Islam akan sempurna betul, karena kesempurnaan adalah suatu hal yang relatif. Bagi si anu, pemahaman keislamannya mungkin sudah sempurna dan benar, sedangkan bagi si anu, pemahaman keislamannya mungkin dianggap masih banyak memerlukan perbaikan serta proses belajar dan diajar. Satu persoalan pelik yang senantiasa menghiasi wacana pemikiran Islam baik dari dulu hingga sekarang adalah kesediaan menerima perbedaan pendapat. Semua kaum Muslim sebenarnya sama posisinya dalam menghadapi ajaran Islam, dalam arti ingin memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan keseharian.

Saya melihat bahwa Islam sangat menghargai dan membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin menafsirkan dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Islam tidak membatasi seseorang untuk keinginan tersebut. Di sinilah kemudian akan muncul satu makna penting bahwa Islam mengajak setiap individu untuk berproses dalam berupaya memahami dan merealisasikan Islam. Berproses dalam artian bahwa pemahaman atas Islam itu semakin hari akan semakin sempurna. Terdapat fase pencarian diri dan pencarian kebenaran dari waktu ke waktu. Dalam konteks ini, tidak ada tempat bagi sebuah stagnasi dan taklid dalam Islam. Setiap individu harus belajar dan mencoba menafsirkan Islam dalam kehidupan keseharianya.

Adalah problem yang sangat besar manakala dalam kenyataannya terdapat individu atau kelompok keagamaan yang mencoba mem-final-kan pemahaman keislamannya sebagai sebuah “Blue Print”. Lebih-lebih manakala hal itu harus dimiliki juga oleh orang lain. Pemahaman seperti ini sampai kapanpun akan sulit menerima kenyataan pluralnya pemikiran dan pemahaman atas Islam. Paradigma seperti ini juga akan dapat menutup setiap pintu dialog dalam rangka pemahaman Islam menuju kesempurnaan, apalagi dialog keimanan. Dan sekali lagi, paradigma seperti itu akan memiliki potensi besar bagi terciptanya kekisruhan dan kekacauan di kalangan kaum Muslim. Mengapa? Jawabannya satu, ada suasanan batin di mana satu kelompok dengan lainnya merasa paling benar. Kelompok lain adalah salah dan harus diluruskan!

Kekacauan Islam di abad pertengahan disebabkan oleh lebih berkembangnya paradigma totaliter dan wacana “Blue Print” daripada paradigma ‘urun rembuk’ atau dialog. Sementara itu fenomena taklid dapat terjadi diketika terdapat satu kelompok yang mewajibkan dilaksanakannya satu model pemahaman keagamaan terhadap pengikutnya, yang memang notabene pengikutnya adalah mereka yang lemah secara intelektual. Taklid juga dapat terjadi manakala suatu kelompok keagamaan menakut-nakuti pengikutnya akan suatu kesesatan atau kemurtadan manakala tidak diikutinya model pemahaman keagamaan pemimpinnya.

Bagi setiap pemimpin kelompok dan organisasi keagamaan, sudah seharusnya menghindari aji “menakut-nakuti” umat akan kesesatan kalau tidak mengikuti satu jenis pemahaman keagamaan. Sebab hal itu akan semakin mematikan potensi kreatifitas intelektual ummah. Yang akan muncul adalah umat yang penakut, yang selalu mengatakan “jangan-jangan apa yang saya laksanakan ini salah dan sesat”. Jika yang berkembang seperti ini, jangan diharap umat Islam akan mampu berkembang dan besar layaknya abad klasik atau keemasan Islam. Sikap menakut-nakuti seperti itu setidaknya akan melahirkan tiga dampak yang semuanya negatif. Pertama, sikap fanatik yang berlebihan hingga menjurus kepada ekslusifisme ekstrim. Kedua, dalam jangka panjang dan pendek akan melahirkan umat yang bodoh dan tidak kreatif secara intelektual. Ketiga, berpotensi bagi terpupuknya sikap mengagung-agungkan seorang pemimpin layaknya dewa atau tuhan, hingga menyanggah pendapatnya bisa diklaim sebagai sesat dan murtad.

Yang diperlukan saat ini adalah bagaimana umat dapat memanfaatkan potensi intelektualnya untuk belajar memahami Islam, menafsirkannya, mengamalkannya dan mendialogkannya. Setiap individu muslim wajib berusaha untuk memahami Islam dan tidak terpaku pada satu jenis pemahaman keagamaan. Tebarkan semangat berijtihad dan dialog. Padamkan aji menakut-nakuti akan kesesatan. Kita yang tak pernah mencoba memberanikan diri untuk secara mandiri mempelajari, menafsirkan, mengamalkan dan mendialogkan Islam kita, dan bahkan sebaliknya, hanya mengikuti orang lain dengan satu jenis pemahaman keagamaan, tidak pantas menyandang peringkat sebagai seorang muslim sejati.[]
01/08/2003 | Gagasan | #
Komentar
Komentar Masuk (20)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Ketika Nabi Muhammad menjelaskan tentang nifas, beliau mengakategorikan 2 macam yaitu nifas orang yg melahirkan melalui kemaluan dan melahirkan tidak melalui kemaluan. Pada waktu itu para sahabat bingung, gimana caranya melahirkan tanpa lewat kemaluan. Nah sekarang kita baru faham deh, ente juga musti faham jgn pake emosi, ternyata yang dimaksud Rasulullah itu adalah melahirkan dengan proses cecar ... Paham gak ente? Itulah kelebihan nabi, beliau diberikan keistimewaan berupa jawamiul kalim, bisa berkata2 dgn sedikit kata2nya tapi sangat luas pemahamannya,,, itu baru kata2 Nabi, apalagi firman Allah, wallahu’alam
Posted by syauqillah palermo on 01/25 at 12:43 AM

Seandainya Rasulullah SAW masih hidup, saya ingin tahu jawaban beliau jika ditanya: ke mana orang menghadap jika sholat di stasiun ruang angkasa? ke mana orang menghadap jika sholat di bulan?
Bagaimana hukum orang yang menabrak seseorang dengan kendaraan? Apakah dikenakan qishash kepada si penabrak? Apa maksud kata ‘bulan-bulan’ untuk berhaji? Betulkah hanya di bulan zulhijjah saja? lalu kenapa Allah SWT menggunakan kata jamak bukannya tunggal?

Betulkah Al-Qur’an itu hanya punya satu tafsiran tunggal dalam setiap ayatnya? Bagaimana dengan kata Arasy? Jannah? samaawaat? ardhu?

Justru karena kekayaan makna dalam ayat al qur’an itulah yang menjadikan kitab ini sebagai suatu mukjizat. Bagaimana ayat-ayat itu disusun sehingga bisa menghasilkan makna yang bermacam ragamnya merupakan bukti bahwa al qur’an bukan buatan manusia ummi yang bernama Muhammad bin Abdullah.

Kemudian kalau terjemahan ayat itu tidak dimengerti oleh pikiran kita, bukan al qur’an yang keliru, tetapi pikiran kita yang gak nyampe ke situ. Itu mungkin serupa dengan kisah bagaimana penemu telepon Alexander Graham Bell bersikeras berpendapat bahwa tidak mungkin ada telepon genggam (hape). Kata Alexander G.B jika ada telepon seperti itu, berapa ribu kilometer kabelnya? Itu muncul dalam pemikirannya karena belum ada dalam otaknya konsep mengeni transistor dan sistem GSM/CDMA seperti yang ada sekarang ini.

Jadi, kalau ada ayat al qur’an yang belum masuk di akal kita, ya lebih baik diam dan berusaha untuk mencari informasi yang bisa menjelaskan makna ayat itu.

Mengenai pelaksanaan syariah, ingatlah dialog antara Musa dan Khidir. Waktu Khidir membunuh seorang anak kecil, Musa protes sebab itu berarti menyalahi apa yang diyakininya, tetapi Khidir justru membenarkan tindakannya itu dengan alasan yang dipercayainya pula. Itu membuktikan bahwa tingkat pengetahuan seseorang tentu akan menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap cara pemahaman dan pelaksanaan aturan yang sama.

Mengenai konsep yang dianggap bertentangan di dalam qur’an, itu berarti penafsirnya yang menganggap cara berpikirnya sudah benar sehingga arti ayat qur’an kalau tidak sesuai dengan logika berpikirnya, berarti ayat qur’an yang bertentangan. Contoh sederhana, jika orang belum paham tentang geometri non-euclidean tentu akan selalu beranggapan bahwa jumlah tiga sudut segitiga itu adalah pasti 180 derajat. Padahal kalau dalam geometri non-euclidean jumlahnya bisa lebih atau kurang dari 180 derajat tergantung dari referensi yang diambil, apakah ruang dianggap berbentuk cekung atau cembung. Lalu apakah salah satunya salah? jawabannya dua-duanya benar. Betulkah 1 + 1 selalu sama dengan dua? Jika dipakai bilangan biner hasinya 1 + 1 = 10. Karena dalam biner tidak ada bilangan 2.

Betulkah arti jannah itu hanya bisa diterjemahkan dengan surga? tidak adakah arti lain dari kata jannah itu? jika keyakinan pembaca al qur’an bahwa kata jannah itu hanya bisa diartikan surga, maka akan tambah kacau pemahamannya terhadap semua terjemahan ayat yang ada kata jannah di dalamnya.

Allah SWT sudah memberi contoh tentang sifat relatif semua ukuran pikiran manusia. Misalnya hitungan satu hari di sisi Allah SWT itu sama dengan 1000 tahun menurut perhitungan manusia. Sedangkan di ayat lain dikatakan bahwa malaikat menghadapkan laporan yang waktunya 1 hari setara dengan 50.000 tahun dalam hitungan manusia. Jadi mana yang benar? 1 hari itu 1000 tahun atau 50.000 tahun? dua-duanya benar. Ini bisa dipahami kalau saja yang membaca terjemahan ayat itu sudah mempelajari tentang peredaran planet-planet di tata surya. Bumi berotasi 24 jam. Merkurius 88 hari Bumi. Bumi mengelilingi matahari selama setahun yang setara dengan 365 x 24 jam. Merkurius mengelilingi matahari dalam waktu 88 hari Bumi. Di sini akan terdapat pemahaman yang kontradiktif antara waktu di bumi dan di merkurius. Di merkurius satu hari sama dengan satu tahun.

Kalau dikatakan matahari terbenam di laut berlumpur hitam bukan berarti matahari masuk ke dalam laut. Coba artikan matahari terbenam di ufuk barat, mana sih yang di bilang barat itu? Lagipula betulkah matahari itu bisa terbenam? Iya kalau dilihat dari bumi. Tetapi bagi orang yang ada di pesawat ruang angkasa yang kecepatannya sama dengan waktu edar bumi alias berada di orbit geostasiner di ketinggian 36.000 km, maka matahari akan tampak terus tidak pernah terbenam. Atau kalau ada di kutub utara atau kutub selatan. Matahari terlihat terus selama enam bulan dan tidak terlihat selama enam bulan.

Mengenai ajaran Islam yang dikatakan satu macam, mungkin sama dengan cahaya putih yang kalau diuraikan oleh prisma menjadi bermacam-macam warna. Satu cahaya, tetapi terdiri dari berbagai macam spektrum cahaya.

Yang beranggapan bahwa hanya ada satu terjemahan/tafsiran untuk masing-masing ayat qur’an perlu diingatkan bahwa Allah SWT itu Maha Pencipta, Maha Mengetahui, Maha Kaya. Puisi buatan manusia saja bisa mengandung beragam arti, apalagi puisi buatan Allah SWT.
Posted by muhammad hakim on 01/20 at 09:08 AM

Pluralisme agama dalam pengertian sederhananya adalah upaya menampik klaim kebenaran. Selanjutnya ide ini menjelma dalam wujud wacana kesatuan transendental agama-agama. Gagasan ini, kemudian mengkhayalkan adanya titik temu antar agama pada level esoteris. Pada awalnya gagasan ini di angkat dan di ‘turunkan ke bumi’ oleh Schuon kemudian disambut gegap gempita oleh para sarjana lintas agama dan akhirnya menjadi ‘wahyu’ yang mencerahkan dalam setiap kesempatan dialog lintas agama.
Jika kita menggali lebih dalam paham pluralisme agama ini lahir dari doktrin pluralisme. Di Barat pluralisme memiliki akar yang dapat ditelusuri jauh ke belakang, ternyata yang paling mendomominasi adalah paham kenihilan (nihilisme) dan relativisme Barat post moderen. Pluralisme mengandung dua makna, pertama, pengakuan terhadap kemajemukan, kedua, doktrin yang berisi pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran tunggal, tidak ada pendapat yang mutlak benar bahkan semua pendapat sama benarnya
Menarik apa yang dikatakan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, “Para cendekiawan Muslim pun akhirnya punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya untuk ummat Islam”, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan”.
Posted by abdul majid albugisy on 12/21 at 09:30 AM

Al-Qur’an tetap menjadi sebuah bukti yang mutlak akan kebenaran Tuhan, saya setuju itu,, akan tetapi seringkali umat Islam pun mengalami perbedaan dalam hal penafsiran atas ayat - ayat Al-Qur’an, nah disinilah makanya diperlukan sebuah sarana dialogis, dan menghindari manakala ada kaum Muslim yang menjadikan pemahaman keislamannya sebagai “Blue Print”, yang harus dipegangi oleh semua kaum Muslim( mengutip tulisan diatas).

Mungkin seperti itu pemahaman yang datang dari orang awam seperti saya ini, terima kasih,

Read More..

Pemikiran Ulil Abshar Abdallah.

1. Riwayat Hidup Singkat
Lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967. Menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali””ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am PBNU periode 1994 1999).

Pernah belajar di Pesantren Mansajul ””Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Alumni Fakultas Syari””ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengikuti pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.


Sekarang menjadi ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Maya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, serta Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Tercatat sebagai Penasehat Ahli Harian Duta Masyarakat. Saat ini adalah Koordinator Jaringan Islam Liberal.

2. Latar Belakang Pemikiran

Pemikiran Ulil Absar Abdalla secara umum tidak dapat dipisahkan dengan gerakan Islam Liberal. Sebuah kelompok anak muda kritis yang cinta akan Islam dengan cara mungkin berbeda dengan pendahulunya dalam memahami Islam.
Mereka berupaya untuk menjadikan Islam sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan modernitas. Karena dalam pandangan mereka islam adalah sebuah agama sekaligus peradaban yang universal untuk dipahami oleh umat manusia secara bersama.

Ada enam isu utama yang menjadi mainstream garakan mereka, Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan. Dari enam landasan inilah semua pemikiran Ulil dikembangkan. Dan disini terlihat adanya suatu upaya untuk menjadikan Islam sebagai sesuatu yang kontekstual dalam menjawab semua persoalan zaman yang sedang dihadapi umat.

Adapun makalah singkat ini mencoba mengapresiasi terhadap lima tulisan Ulil Absar Abdalla yang dipilih secara acak. Tulisan yang ditulis selama periode 2002 – 2004, dengan mempertimbangkan adanya kontroversi yang memuncak dari tulisan yang dipilih. Misalnya tulisan menyegarkan kembali syariat Islam, yang dimuat diharian Kompas tanggal 18 November 2002. Dan tanggapan terhadap tulisan tersebut kini telah diterbitkan menjadi sebuah buku. Begitu juga dengan tulisan Pasar Raya Tafsir dan Perahu Nuh, sebuah refleksi terhadap perubahan umat Islam dari dunia lisan menjadi dunia tulisan, dengan beragam tafsir yang menjadi pasar yang akan menyesatkan dan juga menyelamatkan manusia dari kebodohan. Dan tiga tulisan lain; Dialog, Bukan Konfrontasi, Tuhan Kebaikan, Tuhan Kejahatan dan

3. Tema Tulisan

a. Dialog, Bukan Konfrontasi

Artikel ini di muat pada situd Islam Liberal tanggal 7 Oktober 2001. menanggapi penyerangan Amerika terhadap Afghanistan, yang saat itu masih dipimpin oleh Taliban dan semangat “jihad” masyarakat Islam di hampir seluruh dunia. Kemarahan Amerika disebabkan adanya serangan terjadap World Trade Center tanggal 11 September.
Dari artikel ini kita mendapati beberapa alur pemikirannya dalam melihat hubungan ke depan antara Islam dan Kristen-Barat ke depan. Alur yang mesti di pilih oleh umat Islam adalah dengan jalan dialog. Karena tanpa jalan dialog umat Islam akan selalu berada dalam posisi terugikan, oleh sebagian orang dengan memanfaatkan sentimen agama untuk kepentingan politik.

Menurutnya nilai-nilai agama apapun akan tetap relevan dalam memberi ruang dialog sesama mengantarkan manusia ke arah yang lebih nyaman untuk hidup bersama. Ada hal-hal yang selama ini tidak mampu dijangkau oleh masyarak dalam kedua peradaban ini. Di satu sisi umat Islam yang melihat Barat sebagai satu bangunan yang tunggal. Di mana ruh kebencian-kekafiran- mereka selalu datang untuk membuat kekufuran di dunia ini.

Sehingga begitu terjadi gesekan, misalnya dalam kasus penyerangan terhadap Afghanistan. Maka semua umat Islam merasa bahwa mereka telah mendapat serangan dari kelompok kafir, dan kewajiba jihadpun datang. Padahal harus dipahami, bahwa masyarakat Barat, -kasus Amerika – tidaklah merupakan satu bangunan utuh yang berdiri sendiri begitu saja. Mereka adalah kelompok sejarah sebagaimana umat Islam yang sebagiannya menginginkan kemnadirian. Di mana adanya pemisahan yang tegas antara urusan negera dan pribadi. Maka dalam hal ini kepekaan mereka dalam merespon kebijakan luar negeri Amerika sangatlah kurang.

Pada sisi yang lain pemahaman yang keliru juga hampir sama datang dari masyarakat Barat. Peran pers di sini sangat besar dalam membuat gelar pejoratif terhadap umat Islam. Sehingga peperangan suci yang pernah terjadi di abad tengah kembali menjadi hadir dalam bayangan masyarakat Barat modern.

Tetapi dengan sangat optimis Ulil melihat bahwa jalan ke depan bahwa dialog antar peradaban akan bisa berjalan, dan ini terjadi misalnya dengan banyaknya pelajar dari Timur Tengah, Afrika dan Asia yang sebagiannya beragama Islam berangkat ke Eropa dan Australia untuk bela0jar. Di tingkat yang lebih besar lagi, misalnya adanya keinginan pemimpin Iran Alie Khomeinie untuk membuka dialog dengan Barat, dan di beberapa kampus di Barat yang didirikan oleh kelompok Kristen memberikan kesempatan yang penting untuk pelajar muslim memimpin jurusan islamic studies.

b. Pasar Raya Tafsir dan Perahu Nuh

Tulisan ini ditulis pada pertengahan tahun 2002, merupakan sebuiah refleksi terhadap perkembangan pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia khususnya. Dengan menggunakan simbol Pasar Raya (Supermarket), Ulil mencoba memberikan gambaran secara gamblang bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi derasnya arus pemikiran saat iini.
Bagaimanapun ini adalah kenyataan sejarah yang pasrti dan harus dihadapi oleh mat Islam. Dengan berpijak pada sejarah dia mencontohkan bahwa sepeninggal rasul sudah banyak sekali terjadinya upaya penafsiran terhadap Islam. Hal tersebut adalah suatu kebutuhan sejarah yang tidak dapat dihindarkan karena bagaimanapun setiap zaman selalu menampilkan suatu permasalahan yang berbeda-beda.

Jadi mengandaikan Islam yang satu adalah suatu hal yang sangat naif. Karena bagaimanapun Islam selalu berakhir pada adanya adjektif yang melengkapi, Islam Sunni, Islam Syi’ah di periode awal. Kemudian muncul, Iislam Salafi, Modernis, dan lainnya. Kesemua itu adalah suatu upaya memberi jalan bagi umat Islam dalam memahami yang mereka inginkan dari Islam itu sendiri.

Kita semua yakin, bahwa sumber rujukan yang dijadikan adalah al-Qur’an dan Hadist Rasul. Tetapi bagaimanapun dia adalah teks yang bisa dipahami dengan beragam oleh banyak orang. Pemahaman yang diceritakan oleh Gus Dur, Nur Cholish Madjid, mungkin berbeda dengan Ali Syari’ati, Yusuf Qardhawi dan Sayyid Qutb. Tetapi untuk mengadakan penilaian apakah Gus Dur salah dan yang lainnya benar juag sebuah kerelatifan bagi manusia.

Munculnya gejala ini adalah akibat dari banyaknya intelektual baru yang muncul di dunia Islam. Mereka semakin mampu memberikan apresiasi yang beragam terhadap nilai agama, dengan menggunakan beragam pendekatan. Bahkan pendekatan empiris dalam ilmu sosial menjadi suatu iidola yang selama ini tidak dikenal dalam tradisi islam klasik.
Bagi Ulil, tafsiran adalah ibarat perahu Nuh yang sekali berangkat tidak pernah kembali lagi. Tidak berhenti dan terus berjalan menuju pusaran dan pasaran yang ada. Karena yang menilai adalah para pembaca yang menikmati hasil karya mereka, mendalami dan mempraktekkan dalam kehidupan menjadi jalan yang benar.

Ada dua hal yang mesti dilakukan oleh umat Islam untuk dapat terus menikmati dan selamat dalam jalan ini. Pertama, kesiapan intelektualnya. Inilah yang mengkhawatirkan bagi Ulil, kebanyakan umat Islam tidak siap dengan modal intelektual dalam menghadapi perbedaan, dan menginginkan adanya suatu tafsiran yang absolu. Ini merupakan gejala umum yang menghinggapi hampir suluruh dunia Islam. Kedua, sikap kritis untuk mengapresiasikan perbedaan yang terjadi sesama umat Islam, sebagai suatu dinamika dalam kehidupan. Inilah yang mesti dipersiapkan ke depan untuk terus mendapatkan ide-ide yang segar dalam memahami Islam.

c. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam merupakan tulisan Ulil yang paling kontroversial. Tulisan yang di muat pada Harian Kompas 18 Nopember 2002. Menimbulkan sikap reaksi keras dari banyak pihak, sehingga Front Ulama Bandung mengeluarkan fatwa mati bagi Ulil.
Tulisan ini disamping isinya memang cukup menggugat, penempatan di Harian kompas juga suatu yang “fatal” bagi kalangan tertentu. Karena sudah umum dipahami bahwa harian tersebut sebagai medianya kelompok Kristen. Polemik panjang pun terjadi dengan timbulnya beragam tulisan yang bersikap pro dan kontra menghadapi tulisan ini.
Secara umum ada tiga tanggapan terhadap tulisan ini:

Pertama mereka yang mendukung gagasan Ulil sehingga secara afirmatif tulisan-tulisan mereka adalah upaya meneguhkan apa yang digagas oleh Ulil. Bagi mereka, apa yang digagas Ulil sebenarnya merupakan kebutuhan mendesak dalam upaya mengawinkan agama dengan realitas sosial, sehingga diperlukan penafsiran yang kontekstual dan membumi bukan sebatas romantisme masa lalu yang memabukkan.

Kelompok kedua, adalah mereka yang memberikan kritik konstruktif. Dalam hal ini minimal diwakili oleh Musthafa Bisri, Haidar Bagir dan A. Gaus AF. Perbedaannya, Gus Mus mencoba mengkritisi dari metode penyampaian yang bernada “geram” dan hanya ingin membuat geram mereka yang dalam benak bayangan Ulil dianggap sebagai biang ketidak ramahan Islam di Indonesia. Haidar Bagir mempertanyakan dari sisi metodologi berpikirnya. Menurutnya, artikel Ulil adalah kuncup-kuncup pemikiran, sementara bagaimana kemudian kuncup itu dihasilkan kurang mendapat ruang pembahasan, sehingga banyak hal yang kemudian membutuhkan penjelasan secara metodologis.

Haidar mencontohkan dalam masalah jilbab, jenggot, rajam dan jubah, Ulil mencampuradukkan antara isu-isu yang memperoleh dukungan petunjuk Alquran yang dianggap valid dalah hal transmisi (qath’iy wurud) dan nyaris juga valid dalam hal makna (qathi al dilalah), seperti jilbab dan potong tangan, dengan dukungan-tekstualnya bersifat kontroversial seperti memelihara jenggot, memendekkan celana, bahkan hukum rajam (dalam Alquran masalah rajam sama sekali tidak disinggung).
Pihak yang ketiga, adalah mereka yang dari awal telah membuat garis demarkasi dengan Islam Liberal. Sehingga secara tegas dan agak emosional mereka kemudian menolak dan cendrung menghakimi lontaran pemikiran Ulil tersebut.

Gagasan yang coba dilontarkan oleh Ulil Absar memberikan hentakan baru bagi umat Islam. Kalaupun para pendahulu seperti Gus Dur, Cak Nur dan lainnya. Namun dengan nuansa baru yang sangat menukik ini membuat banyak kalangan yang marah. Ide utama yang disampaikan Ulil adalah bagaimana umat Islam jangan sampai memonumenkan ajaran islamsebagai sesuatu yang tak tersentuh. Bahwa Islam dijadikan sebagai sesuatu yang berada diluar proses seajarah. Menurut Ulil Islam yang ada di Madinah adalah iyang hadir dalam sejarah masa lalu. Dan kalaupun itu mendekati kesempurnaan, mungkin suatu kebanggaan. Namun bagi umat Islam upaya untuk terus menafsirkan kembali Islam adalah keharusan. Karena perubahan zaman dan tempat menjadikan kita relatif dalam menghadapi persoalan hidup. Jaman yang terus berkembang mengharuskan umat Islam untuk tetap menjawab segala persoalan yang ada. Dan seharusnya Islam dijadikan nilai-nilai universal untuk dimiliki secara bersama oleh manusia, bukan semata milik umat Islam. Karena semangat kehadiran Islam adalah sebuah rahmat bagi semua alam, bukan suatu eklusifitas, dan nilai-niali Islampun bisa jadi ada dalam banyak faham yang kita anggap berlawanan selama ini.

Dia menyebut model pengandaian Islam yang sempurna sebagai upaya memonumenkan Islam. Yang kesemua itu menjadikan islam terkubur dan menghilangkan Islam sebagai sebuah elan vital kehidupan yang telah menyemangati umat Islam. dan semestinya kehadiran Islam adalah sebagai suatu rahmat yang harus dinikmati secara bersama oleh semua umat manusia.

Untuk meruntuhkan tembok menumen ini, dia menyarankan tiga cara yang harus ditempuh oleh umat Islam.
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.

Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan yang lain.

Penafsiran konstektual adalah suatu upaya meng-induksikan permasalahan yang muncul dengan semangat jaman. Proses ini lebih bertumpu pada upaya reflektif-akomodatif umat Islam dalam menghadapi setiap persoalan yang melingkupi mereka. Proses ini diupayakan untuk mendekatkan setiap persoalan dan realitas petunjuk yang ada. Karena dengan membaca teks yang kaku saja tidak memperhatikan ruang zaman maka kita akan mudah pada klaim yang sempit.

Penafsiran kontekstual dibutuhkan untuk lebih memberi ruang ingat yang dekat antara dengan umat dalam suatu permasalahan. Karena setiap lingkungan punya kekhasan budaya tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Dan zaman juga memberikan semangat yang berbeda bagi setiap penduduk dunia. Dan Islam sudah semestinya menjadi nilai universal bersama, bukan eklusif milik sekelompok orang yang menamakan diri Islam.

d. Tuhan Kebaikan, Tuhan Kejahatan

Tulisan yang dimuat tanggal 9 Mei 2004 di situs Islam Liberal ini mencoba menjawab pertanyaan: dari manakah sumber kejahatan?. Jawaban yang selama ini diberikan bahwa kejahatan bersumber pada Iblis. Bagi Ulil ini tidak dapat diterima. Karena hal itu akan berdampak pada “kemusyrikan”.

Dalam artian pada satu sisi ada Tuhan kebaikan dan pada sisi lain ada Tuhan kejahatan. Ini berlawanan dengan monoteisme yang mencoba memberikan jalan yang lurus, bahwa Tuhan adalah suatu kemutlakan yang tidak ada sekutu baginya.
Tuhan dalam Islam adalah yang memberi ruh kehidupan dalam diri manusia. Istilah filosofis yang sering dipergunakan untuk ini adalah emanasi – pancaran – dari proses pancaran inilah manusia menjadi hidup dalam dunia ini dengan nilai Tuhan. Dan di sana sudah pasti ada dua nilai yang terpancar, baik dan buruk. Dan kalau dikatakan yang baik saja berarti sudah mesti ada Tuhan membuat ruh buruk dalam diri manusia.
Ini suatu hal yang mustahil dalam teologi Islam yang monoteisme. Berusaha menyucikan Tuhan dari kemungkinan kemusyrikan. Karena dalam Islam kemusyrikan termasuk satu di antara dosa yang tidak terampuni oleh Tuhan.

Selanjutnya dengan mengutip pendapat Whitehead, bahwa Tuhan adalah sebuah proses. Ulil menyatakan bahwa dialektika yang dinamis juga terjadi dalam zat Tuhan. Hal yang sama juga dipancarkan dalam diri manusia. Inilah yang menjadi cobaan bagi manusia dalam membangun keseimbangan dalam hidup untuk tetap bertahan dalam batasan keseimbangan yang berarti bagi dirinya menjadi hamba Tuhan.

e. Syari’at Islam

Formalisasi Syariat Islam merupakan suatu isu yang biasa selalu muncul dalam setiap pemilu di Indonesia. Sejak munculnya negara ini ide untuk menjadikan negara sebagai pelaksana syariat muncul dengan sangat kentara. Tulisan Ulil yang berjudul Syari’at Islam awalnya dimuat di Harian Suara Karya Selasa, 23 Maret 2004.

Dia berupaya mendiskusikan kembali tema yang cukup hangat diperdebatkan, dan menjadi harga mati bagi sebagian kelompok Islam. Dimana mendiskusikannya kembali seakan menjadi hal yang tidak relevan, karena memang sebuah kewajiban yang final harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam.
Bagi ada persoalan besar dalam pelaksanaan Syariat seperti yang diinginkan oleh berbagai kelompok tersebut. Karena negara adalah milik publik, dan kehidupan publik bukanlah suatu yang statis. Kehidupan selalu berjalan dalam dinamika pluralistik. Inilah salah satu hal yang menghambat kenapa Syariat islam di wilayah negara perlu didialogkan kembali oleh semua orang.

Karena dengan hanya berpegang pada satu keputusan saja belum tentu ada kata sepakat dengan yang lain. Sebuah pengandaian bahwa bila di satu negeri didiami oleh semua orang Islam. Tetapi bukankah mereka juga beragam mazhab dan tanggapannya terhadap pelaksanaan Syariat Islam tersebut. Di sinilah yang selama ini menurut Ulil banyak umat Islam tidak mampu melihat ruang yang mestinya perlu dikaji ulang.
Hal lain yang sangat menganggu dalam pelaksanaan Syar’at Islam adalah posisi perempuan yang sangat lemah. Misalnya dalam kasus pemerkosaan dan pengadilan seorang perempuan harus menghadirkan empat orang saksi, yang tentu sangat mustahil untuk dapat dilakukan. Demikian pula halnya dengan adanya kedudukan perempuan yang di pengadilan diangagap setengah ( satu banding dua) dengan laki. Inilah yang mesti didiskusikan formatnya ke depan dalam pelaksanaan Syariat Islam. Karena bagaimanapun ketentuan hukum itu harus mendapat persetujuan publik.

Kedudukan agama yang terlalu masuk dalam wilayah publik kadang menjadi bumerang bagi agama sendiri. Karena agama hanya akan menjadi sumber pemaksaan. Tidak lagi menjadi sumber referensi dalam mencari kedamaian hidup. Maka pengandaian Syari’at Islam sebagai sesuatu yang bisa mengatasi kebrobrokan hukum yang ada mesti diperdebatkan kembali untuk menjadi milik bersama bagi semua kelompok.

4. Kesimpulan

a. Ada enam isu utama yang akan selalu menjadi basis pemikiran Ulil Absar Abdalla, sebagaimanxqa yang tertuang dalam brosur, situs Islam Liberal sebagai media gerakannnya, yaitu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan

b. Keenam tema ini dapat terbaca dalam lima tulisannya yang diapresiasi dalam tulisan ini. Sebuah semangatnya untuk mengajak umat Islam bagaimana melihat sebuah perseolan secara lebih realistis. Karena dalam pertarungan global kita bukan hanya hidup dalam dua dimensi Islam dan Kafir saja, Banyak sekali varibel yang harus dipertimbangkan dalam setiap fenomena sosial yang terjadi dala masyarakat.
c. Pijakan yang diinginkan oleh Ulil terhadap Islam adalah menjadikannya sebagai nilai yang universal bagi semua bangsa. Islam tidak lagi menjadi milik eklusif orang-orang/kelompok masyarakat yang mengaku diri sebagai kelompok Islam seperti sekarang. Tetapi Islam mesti menjadi kebersamaan yang merupakan sebuah semangat bersama menggapai Tuhan.


Read More..

Mahatma Gandhi

¤ A Great Legend Also Known As The Father Of Nations ¤ A Great Legend Juga Dikenal Sebagai Bapa Of Nations


Mohandas Karamchand Gandhi, better known as Mahatma Gandhi and the Father of the Indian Nation, was born on the 2nd October, 1869. Mohandas Karamchand Gandhi, yang lebih dikenal sebagai Mahatma Gandhi dan Bapa dari Negara India, dilahirkan pada 2 Oktober 1869. The day is a national holiday marked by a series of cultural events organised each year to commemorate the birth of one of India's greatest political beacons. Hari itu merupakan hari libur nasional yang ditandai oleh serangkaian acara budaya yang diselenggarakan setiap tahun untuk memperingati kelahiran salah satu politik terbesar india beacon. On this day, bhajans, or devotional songs are sung at his samadhi, or memorial, in Delhi called Raj Ghat. Pada hari ini, bhajan, atau lagu-lagu pujian yang dinyanyikan di samadhi, atau peringatan, di Delhi disebut Raj Ghat. The key figures of contemporary Indian politics take time off from their usually packed schedules to visit his memorial and silently go over the Mahatma's life and its impact on the destiny of India. Tokoh utama politik India kontemporer mengambil cuti dari biasanya dikemas jadwal mereka untuk mengunjungi monumen dan pergi diam-diam atas kehidupan Mahatma dan dampaknya terhadap nasib india.


¤ Gandhiji Also Knowan As Father of India ¤ Gandhiji Juga Knowan Ketika Pastor dari India

For the average Indian, it could be just another holiday. Untuk rata-rata India, itu bisa saja hanya hari libur lainnya. But the average Indian lives in a country where every town and city has at least one road, one market, one statue and one park named after Gandhi. Tapi India rata-rata tinggal di sebuah negara di mana setiap kota dan kota setidaknya memiliki satu jalan, satu pasar, satu patung dan satu taman bernama setelah Gandhi. The average Indian has written essays on the Mahatma in school, and pored over his contribution to India's independence in History classes.

India rata-rata telah menulis esai-esai tentang Mahatma di sekolah, dan dituangkan melalui kontribusinya untuk kemerdekaan India di kelas Sejarah. While most historical personalities in India's checkered history, no matter how dynamic, could inspire only a fraction of the population, Gandhi connected with Indians at their own level, their caste, creed, sex or status notwithstanding, and was aptly christened bapu or father. Sementara kebanyakan tokoh sejarah di India's kotak sejarah, betapa pun dinamis, bisa menginspirasi hanya sebagian kecil dari populasi, Gandhi terhubung dengan India di tingkat mereka sendiri, mereka kasta, agama, jenis kelamin atau status sekalipun, dan dibaptis tepat Bapu atau ayah. To strike a cord in the heart of an average Indian, when the average Indian is classified as a Brahmin, Kshatriya or Shudra, (levels of castes in Hinduism established as early as the pre-Vedic era), or is a Tamilian, Punjabi or Marathi, a speck in a nation that spouts at least 17 different languages, is no mean feat. Untuk menyerang kabel di jantung rata-rata India, ketika India rata-rata diklasifikasikan sebagai Brahmana, Kesatria atau Shudra, (tingkat kasta dalam Hinduisme didirikan pada awal dari era pra-Weda), atau seorang keling, Punjabi atau Marathi, sebuah titik dalam sebuah bangsa yang spouts sedikitnya 17 bahasa yang berbeda, tidak berarti feat. Perhaps no other historical figure in India has enjoyed such a rare distinction. Mungkin tidak ada tokoh sejarah lainnya di India telah menikmati perbedaan langka. This was Gandhi's forte, alone. Ini Gandhi forte, sendirian.

This is not to say that hagiographers could be summoned, and Gandhi is above criticism. Ini bukan untuk mengatakan bahwa hagiographers bisa dipanggil, dan Gandhi di atas kritik. In fact, the man attracted criticism, and continues to do so, like a bee is drawn to honey. Bahkan, pria mengundang kritik, dan terus melakukannya, seperti lebah yang tertarik pada madu. But few would have beheld the man and his philosophy, without yielding both a reaction. Tetapi hanya sedikit akan telah melihat manusia dan filsafat, tanpa menghasilkan reaksi keduanya.

Gandhi hardly needs an introduction. Gandhi tidak membutuhkan pengenalan. A voluminous literature has gone into studying the man who became the Mahatma or 'great soul'. His personal writings add up to ninety large volumes. Sebuah literatur tebal telah pergi ke mempelajari orang yang menjadi Mahatma atau 'jiwa besar'. Nya tulisan-tulisan pribadi menambahkan hingga sembilan volume besar.


Read More..