Pemikiran Ulil Abshar Abdallah.

1. Riwayat Hidup Singkat
Lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967. Menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali””ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am PBNU periode 1994 1999).

Pernah belajar di Pesantren Mansajul ””Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Alumni Fakultas Syari””ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengikuti pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.


Sekarang menjadi ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Maya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, serta Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Tercatat sebagai Penasehat Ahli Harian Duta Masyarakat. Saat ini adalah Koordinator Jaringan Islam Liberal.

2. Latar Belakang Pemikiran

Pemikiran Ulil Absar Abdalla secara umum tidak dapat dipisahkan dengan gerakan Islam Liberal. Sebuah kelompok anak muda kritis yang cinta akan Islam dengan cara mungkin berbeda dengan pendahulunya dalam memahami Islam.
Mereka berupaya untuk menjadikan Islam sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan modernitas. Karena dalam pandangan mereka islam adalah sebuah agama sekaligus peradaban yang universal untuk dipahami oleh umat manusia secara bersama.

Ada enam isu utama yang menjadi mainstream garakan mereka, Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan. Dari enam landasan inilah semua pemikiran Ulil dikembangkan. Dan disini terlihat adanya suatu upaya untuk menjadikan Islam sebagai sesuatu yang kontekstual dalam menjawab semua persoalan zaman yang sedang dihadapi umat.

Adapun makalah singkat ini mencoba mengapresiasi terhadap lima tulisan Ulil Absar Abdalla yang dipilih secara acak. Tulisan yang ditulis selama periode 2002 – 2004, dengan mempertimbangkan adanya kontroversi yang memuncak dari tulisan yang dipilih. Misalnya tulisan menyegarkan kembali syariat Islam, yang dimuat diharian Kompas tanggal 18 November 2002. Dan tanggapan terhadap tulisan tersebut kini telah diterbitkan menjadi sebuah buku. Begitu juga dengan tulisan Pasar Raya Tafsir dan Perahu Nuh, sebuah refleksi terhadap perubahan umat Islam dari dunia lisan menjadi dunia tulisan, dengan beragam tafsir yang menjadi pasar yang akan menyesatkan dan juga menyelamatkan manusia dari kebodohan. Dan tiga tulisan lain; Dialog, Bukan Konfrontasi, Tuhan Kebaikan, Tuhan Kejahatan dan

3. Tema Tulisan

a. Dialog, Bukan Konfrontasi

Artikel ini di muat pada situd Islam Liberal tanggal 7 Oktober 2001. menanggapi penyerangan Amerika terhadap Afghanistan, yang saat itu masih dipimpin oleh Taliban dan semangat “jihad” masyarakat Islam di hampir seluruh dunia. Kemarahan Amerika disebabkan adanya serangan terjadap World Trade Center tanggal 11 September.
Dari artikel ini kita mendapati beberapa alur pemikirannya dalam melihat hubungan ke depan antara Islam dan Kristen-Barat ke depan. Alur yang mesti di pilih oleh umat Islam adalah dengan jalan dialog. Karena tanpa jalan dialog umat Islam akan selalu berada dalam posisi terugikan, oleh sebagian orang dengan memanfaatkan sentimen agama untuk kepentingan politik.

Menurutnya nilai-nilai agama apapun akan tetap relevan dalam memberi ruang dialog sesama mengantarkan manusia ke arah yang lebih nyaman untuk hidup bersama. Ada hal-hal yang selama ini tidak mampu dijangkau oleh masyarak dalam kedua peradaban ini. Di satu sisi umat Islam yang melihat Barat sebagai satu bangunan yang tunggal. Di mana ruh kebencian-kekafiran- mereka selalu datang untuk membuat kekufuran di dunia ini.

Sehingga begitu terjadi gesekan, misalnya dalam kasus penyerangan terhadap Afghanistan. Maka semua umat Islam merasa bahwa mereka telah mendapat serangan dari kelompok kafir, dan kewajiba jihadpun datang. Padahal harus dipahami, bahwa masyarakat Barat, -kasus Amerika – tidaklah merupakan satu bangunan utuh yang berdiri sendiri begitu saja. Mereka adalah kelompok sejarah sebagaimana umat Islam yang sebagiannya menginginkan kemnadirian. Di mana adanya pemisahan yang tegas antara urusan negera dan pribadi. Maka dalam hal ini kepekaan mereka dalam merespon kebijakan luar negeri Amerika sangatlah kurang.

Pada sisi yang lain pemahaman yang keliru juga hampir sama datang dari masyarakat Barat. Peran pers di sini sangat besar dalam membuat gelar pejoratif terhadap umat Islam. Sehingga peperangan suci yang pernah terjadi di abad tengah kembali menjadi hadir dalam bayangan masyarakat Barat modern.

Tetapi dengan sangat optimis Ulil melihat bahwa jalan ke depan bahwa dialog antar peradaban akan bisa berjalan, dan ini terjadi misalnya dengan banyaknya pelajar dari Timur Tengah, Afrika dan Asia yang sebagiannya beragama Islam berangkat ke Eropa dan Australia untuk bela0jar. Di tingkat yang lebih besar lagi, misalnya adanya keinginan pemimpin Iran Alie Khomeinie untuk membuka dialog dengan Barat, dan di beberapa kampus di Barat yang didirikan oleh kelompok Kristen memberikan kesempatan yang penting untuk pelajar muslim memimpin jurusan islamic studies.

b. Pasar Raya Tafsir dan Perahu Nuh

Tulisan ini ditulis pada pertengahan tahun 2002, merupakan sebuiah refleksi terhadap perkembangan pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia khususnya. Dengan menggunakan simbol Pasar Raya (Supermarket), Ulil mencoba memberikan gambaran secara gamblang bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi derasnya arus pemikiran saat iini.
Bagaimanapun ini adalah kenyataan sejarah yang pasrti dan harus dihadapi oleh mat Islam. Dengan berpijak pada sejarah dia mencontohkan bahwa sepeninggal rasul sudah banyak sekali terjadinya upaya penafsiran terhadap Islam. Hal tersebut adalah suatu kebutuhan sejarah yang tidak dapat dihindarkan karena bagaimanapun setiap zaman selalu menampilkan suatu permasalahan yang berbeda-beda.

Jadi mengandaikan Islam yang satu adalah suatu hal yang sangat naif. Karena bagaimanapun Islam selalu berakhir pada adanya adjektif yang melengkapi, Islam Sunni, Islam Syi’ah di periode awal. Kemudian muncul, Iislam Salafi, Modernis, dan lainnya. Kesemua itu adalah suatu upaya memberi jalan bagi umat Islam dalam memahami yang mereka inginkan dari Islam itu sendiri.

Kita semua yakin, bahwa sumber rujukan yang dijadikan adalah al-Qur’an dan Hadist Rasul. Tetapi bagaimanapun dia adalah teks yang bisa dipahami dengan beragam oleh banyak orang. Pemahaman yang diceritakan oleh Gus Dur, Nur Cholish Madjid, mungkin berbeda dengan Ali Syari’ati, Yusuf Qardhawi dan Sayyid Qutb. Tetapi untuk mengadakan penilaian apakah Gus Dur salah dan yang lainnya benar juag sebuah kerelatifan bagi manusia.

Munculnya gejala ini adalah akibat dari banyaknya intelektual baru yang muncul di dunia Islam. Mereka semakin mampu memberikan apresiasi yang beragam terhadap nilai agama, dengan menggunakan beragam pendekatan. Bahkan pendekatan empiris dalam ilmu sosial menjadi suatu iidola yang selama ini tidak dikenal dalam tradisi islam klasik.
Bagi Ulil, tafsiran adalah ibarat perahu Nuh yang sekali berangkat tidak pernah kembali lagi. Tidak berhenti dan terus berjalan menuju pusaran dan pasaran yang ada. Karena yang menilai adalah para pembaca yang menikmati hasil karya mereka, mendalami dan mempraktekkan dalam kehidupan menjadi jalan yang benar.

Ada dua hal yang mesti dilakukan oleh umat Islam untuk dapat terus menikmati dan selamat dalam jalan ini. Pertama, kesiapan intelektualnya. Inilah yang mengkhawatirkan bagi Ulil, kebanyakan umat Islam tidak siap dengan modal intelektual dalam menghadapi perbedaan, dan menginginkan adanya suatu tafsiran yang absolu. Ini merupakan gejala umum yang menghinggapi hampir suluruh dunia Islam. Kedua, sikap kritis untuk mengapresiasikan perbedaan yang terjadi sesama umat Islam, sebagai suatu dinamika dalam kehidupan. Inilah yang mesti dipersiapkan ke depan untuk terus mendapatkan ide-ide yang segar dalam memahami Islam.

c. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam merupakan tulisan Ulil yang paling kontroversial. Tulisan yang di muat pada Harian Kompas 18 Nopember 2002. Menimbulkan sikap reaksi keras dari banyak pihak, sehingga Front Ulama Bandung mengeluarkan fatwa mati bagi Ulil.
Tulisan ini disamping isinya memang cukup menggugat, penempatan di Harian kompas juga suatu yang “fatal” bagi kalangan tertentu. Karena sudah umum dipahami bahwa harian tersebut sebagai medianya kelompok Kristen. Polemik panjang pun terjadi dengan timbulnya beragam tulisan yang bersikap pro dan kontra menghadapi tulisan ini.
Secara umum ada tiga tanggapan terhadap tulisan ini:

Pertama mereka yang mendukung gagasan Ulil sehingga secara afirmatif tulisan-tulisan mereka adalah upaya meneguhkan apa yang digagas oleh Ulil. Bagi mereka, apa yang digagas Ulil sebenarnya merupakan kebutuhan mendesak dalam upaya mengawinkan agama dengan realitas sosial, sehingga diperlukan penafsiran yang kontekstual dan membumi bukan sebatas romantisme masa lalu yang memabukkan.

Kelompok kedua, adalah mereka yang memberikan kritik konstruktif. Dalam hal ini minimal diwakili oleh Musthafa Bisri, Haidar Bagir dan A. Gaus AF. Perbedaannya, Gus Mus mencoba mengkritisi dari metode penyampaian yang bernada “geram” dan hanya ingin membuat geram mereka yang dalam benak bayangan Ulil dianggap sebagai biang ketidak ramahan Islam di Indonesia. Haidar Bagir mempertanyakan dari sisi metodologi berpikirnya. Menurutnya, artikel Ulil adalah kuncup-kuncup pemikiran, sementara bagaimana kemudian kuncup itu dihasilkan kurang mendapat ruang pembahasan, sehingga banyak hal yang kemudian membutuhkan penjelasan secara metodologis.

Haidar mencontohkan dalam masalah jilbab, jenggot, rajam dan jubah, Ulil mencampuradukkan antara isu-isu yang memperoleh dukungan petunjuk Alquran yang dianggap valid dalah hal transmisi (qath’iy wurud) dan nyaris juga valid dalam hal makna (qathi al dilalah), seperti jilbab dan potong tangan, dengan dukungan-tekstualnya bersifat kontroversial seperti memelihara jenggot, memendekkan celana, bahkan hukum rajam (dalam Alquran masalah rajam sama sekali tidak disinggung).
Pihak yang ketiga, adalah mereka yang dari awal telah membuat garis demarkasi dengan Islam Liberal. Sehingga secara tegas dan agak emosional mereka kemudian menolak dan cendrung menghakimi lontaran pemikiran Ulil tersebut.

Gagasan yang coba dilontarkan oleh Ulil Absar memberikan hentakan baru bagi umat Islam. Kalaupun para pendahulu seperti Gus Dur, Cak Nur dan lainnya. Namun dengan nuansa baru yang sangat menukik ini membuat banyak kalangan yang marah. Ide utama yang disampaikan Ulil adalah bagaimana umat Islam jangan sampai memonumenkan ajaran islamsebagai sesuatu yang tak tersentuh. Bahwa Islam dijadikan sebagai sesuatu yang berada diluar proses seajarah. Menurut Ulil Islam yang ada di Madinah adalah iyang hadir dalam sejarah masa lalu. Dan kalaupun itu mendekati kesempurnaan, mungkin suatu kebanggaan. Namun bagi umat Islam upaya untuk terus menafsirkan kembali Islam adalah keharusan. Karena perubahan zaman dan tempat menjadikan kita relatif dalam menghadapi persoalan hidup. Jaman yang terus berkembang mengharuskan umat Islam untuk tetap menjawab segala persoalan yang ada. Dan seharusnya Islam dijadikan nilai-nilai universal untuk dimiliki secara bersama oleh manusia, bukan semata milik umat Islam. Karena semangat kehadiran Islam adalah sebuah rahmat bagi semua alam, bukan suatu eklusifitas, dan nilai-niali Islampun bisa jadi ada dalam banyak faham yang kita anggap berlawanan selama ini.

Dia menyebut model pengandaian Islam yang sempurna sebagai upaya memonumenkan Islam. Yang kesemua itu menjadikan islam terkubur dan menghilangkan Islam sebagai sebuah elan vital kehidupan yang telah menyemangati umat Islam. dan semestinya kehadiran Islam adalah sebagai suatu rahmat yang harus dinikmati secara bersama oleh semua umat manusia.

Untuk meruntuhkan tembok menumen ini, dia menyarankan tiga cara yang harus ditempuh oleh umat Islam.
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.

Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan yang lain.

Penafsiran konstektual adalah suatu upaya meng-induksikan permasalahan yang muncul dengan semangat jaman. Proses ini lebih bertumpu pada upaya reflektif-akomodatif umat Islam dalam menghadapi setiap persoalan yang melingkupi mereka. Proses ini diupayakan untuk mendekatkan setiap persoalan dan realitas petunjuk yang ada. Karena dengan membaca teks yang kaku saja tidak memperhatikan ruang zaman maka kita akan mudah pada klaim yang sempit.

Penafsiran kontekstual dibutuhkan untuk lebih memberi ruang ingat yang dekat antara dengan umat dalam suatu permasalahan. Karena setiap lingkungan punya kekhasan budaya tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Dan zaman juga memberikan semangat yang berbeda bagi setiap penduduk dunia. Dan Islam sudah semestinya menjadi nilai universal bersama, bukan eklusif milik sekelompok orang yang menamakan diri Islam.

d. Tuhan Kebaikan, Tuhan Kejahatan

Tulisan yang dimuat tanggal 9 Mei 2004 di situs Islam Liberal ini mencoba menjawab pertanyaan: dari manakah sumber kejahatan?. Jawaban yang selama ini diberikan bahwa kejahatan bersumber pada Iblis. Bagi Ulil ini tidak dapat diterima. Karena hal itu akan berdampak pada “kemusyrikan”.

Dalam artian pada satu sisi ada Tuhan kebaikan dan pada sisi lain ada Tuhan kejahatan. Ini berlawanan dengan monoteisme yang mencoba memberikan jalan yang lurus, bahwa Tuhan adalah suatu kemutlakan yang tidak ada sekutu baginya.
Tuhan dalam Islam adalah yang memberi ruh kehidupan dalam diri manusia. Istilah filosofis yang sering dipergunakan untuk ini adalah emanasi – pancaran – dari proses pancaran inilah manusia menjadi hidup dalam dunia ini dengan nilai Tuhan. Dan di sana sudah pasti ada dua nilai yang terpancar, baik dan buruk. Dan kalau dikatakan yang baik saja berarti sudah mesti ada Tuhan membuat ruh buruk dalam diri manusia.
Ini suatu hal yang mustahil dalam teologi Islam yang monoteisme. Berusaha menyucikan Tuhan dari kemungkinan kemusyrikan. Karena dalam Islam kemusyrikan termasuk satu di antara dosa yang tidak terampuni oleh Tuhan.

Selanjutnya dengan mengutip pendapat Whitehead, bahwa Tuhan adalah sebuah proses. Ulil menyatakan bahwa dialektika yang dinamis juga terjadi dalam zat Tuhan. Hal yang sama juga dipancarkan dalam diri manusia. Inilah yang menjadi cobaan bagi manusia dalam membangun keseimbangan dalam hidup untuk tetap bertahan dalam batasan keseimbangan yang berarti bagi dirinya menjadi hamba Tuhan.

e. Syari’at Islam

Formalisasi Syariat Islam merupakan suatu isu yang biasa selalu muncul dalam setiap pemilu di Indonesia. Sejak munculnya negara ini ide untuk menjadikan negara sebagai pelaksana syariat muncul dengan sangat kentara. Tulisan Ulil yang berjudul Syari’at Islam awalnya dimuat di Harian Suara Karya Selasa, 23 Maret 2004.

Dia berupaya mendiskusikan kembali tema yang cukup hangat diperdebatkan, dan menjadi harga mati bagi sebagian kelompok Islam. Dimana mendiskusikannya kembali seakan menjadi hal yang tidak relevan, karena memang sebuah kewajiban yang final harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam.
Bagi ada persoalan besar dalam pelaksanaan Syariat seperti yang diinginkan oleh berbagai kelompok tersebut. Karena negara adalah milik publik, dan kehidupan publik bukanlah suatu yang statis. Kehidupan selalu berjalan dalam dinamika pluralistik. Inilah salah satu hal yang menghambat kenapa Syariat islam di wilayah negara perlu didialogkan kembali oleh semua orang.

Karena dengan hanya berpegang pada satu keputusan saja belum tentu ada kata sepakat dengan yang lain. Sebuah pengandaian bahwa bila di satu negeri didiami oleh semua orang Islam. Tetapi bukankah mereka juga beragam mazhab dan tanggapannya terhadap pelaksanaan Syariat Islam tersebut. Di sinilah yang selama ini menurut Ulil banyak umat Islam tidak mampu melihat ruang yang mestinya perlu dikaji ulang.
Hal lain yang sangat menganggu dalam pelaksanaan Syar’at Islam adalah posisi perempuan yang sangat lemah. Misalnya dalam kasus pemerkosaan dan pengadilan seorang perempuan harus menghadirkan empat orang saksi, yang tentu sangat mustahil untuk dapat dilakukan. Demikian pula halnya dengan adanya kedudukan perempuan yang di pengadilan diangagap setengah ( satu banding dua) dengan laki. Inilah yang mesti didiskusikan formatnya ke depan dalam pelaksanaan Syariat Islam. Karena bagaimanapun ketentuan hukum itu harus mendapat persetujuan publik.

Kedudukan agama yang terlalu masuk dalam wilayah publik kadang menjadi bumerang bagi agama sendiri. Karena agama hanya akan menjadi sumber pemaksaan. Tidak lagi menjadi sumber referensi dalam mencari kedamaian hidup. Maka pengandaian Syari’at Islam sebagai sesuatu yang bisa mengatasi kebrobrokan hukum yang ada mesti diperdebatkan kembali untuk menjadi milik bersama bagi semua kelompok.

4. Kesimpulan

a. Ada enam isu utama yang akan selalu menjadi basis pemikiran Ulil Absar Abdalla, sebagaimanxqa yang tertuang dalam brosur, situs Islam Liberal sebagai media gerakannnya, yaitu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan

b. Keenam tema ini dapat terbaca dalam lima tulisannya yang diapresiasi dalam tulisan ini. Sebuah semangatnya untuk mengajak umat Islam bagaimana melihat sebuah perseolan secara lebih realistis. Karena dalam pertarungan global kita bukan hanya hidup dalam dua dimensi Islam dan Kafir saja, Banyak sekali varibel yang harus dipertimbangkan dalam setiap fenomena sosial yang terjadi dala masyarakat.
c. Pijakan yang diinginkan oleh Ulil terhadap Islam adalah menjadikannya sebagai nilai yang universal bagi semua bangsa. Islam tidak lagi menjadi milik eklusif orang-orang/kelompok masyarakat yang mengaku diri sebagai kelompok Islam seperti sekarang. Tetapi Islam mesti menjadi kebersamaan yang merupakan sebuah semangat bersama menggapai Tuhan.


0 komentar: