Masyarakat Anti Kekeransan

PENGANTAR: Naskah berikut dicuplik dari buku ‘PERS BEBAS TAPI DILIBAS” yang diterbitkan KIPPAS pada 2004. Naskah ini akan dimuat secara berseri.


Potret Pelaku Kekerasan

Amuk kekerasan terhadap wartawan, ternyata tak hanya dilakukan oleh orang atau kelompok yang diberi legitimasi untuk memegang dan menggunakan alat-alat kekerasan karena mandat politik. Tapi juga oleh anggota masyarakat biasa. Data-data yang diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa amuk terhadap pers, bisa datang dari berbagai kalangan, bahkan dari elemen mahasiswa. Berikut adalah profil sekilas pelaku amuk kekerasan terhadap wartawan sepanjang periode 2000 – 2003.

Polisi/Militer. Institusi yang diberi monopoli oleh negara untuk menggunakan senjata dan melakukan kekerasan demi terciptanya tertib sipil ini, ternyata masih merupakan pelaku utama kekerasan terhadap pers di Sumatera dan Aceh. Tahun 2000, tercatat institusi ini merupakan pihak yang paling sering melakukan kekerasan terhadap wartawan. Pada tahun 2001, wartawan yang kerap mengalami tindak kekerasan oleh polisi/militer adalah mereka yang bertugas di wilayah konflik Aceh, sebuah wilayah diujung pulau Sumatera yang paling bergolak. Sebagai daerah konflik bersenjata, wartawan Aceh memang sangat rawan terhadap kekerasan, baik yang datang dari unsur TNI/Polri maupun GAM.

Di Aceh, pers memang ibarat seorang gadis cantik, diperebutkan TNI/Polri dan GAM. Cuma sayang, caranya terkadang kasar dan tidak mengindahkan hukum. Akibatnya, pihak aparat TNI/Polri gampang saja memberi cap seseorang sebagai “wartawan pro GAM”. Sebaliknya GAM pun gampang saja memberi cap seseorang sebagai “wartawan RI”. Simplifikasi pengkubuan wartawan tersebut, membuat wartawan yang bertugas di Aceh sangat rawan terhadap tindak kekerasan. Soalnya baik TNI/Polri atau GAM, dapat seenaknya menilai dan menghukum isi pemberitaan wartawan. Apakah muatannya “pro GAM” atau “pro RI”. Apalagi Aceh dinyatakan dalam status darurat militer.

Masyarakat Sipil. Watak masyarakat setelah lepas dari cengkraman politik otoritarianisme orde baru Soeharto adalah watak masyarakat yang dalam istilah Johan Galtung disebut sebagai masyarakat “punitif” (penghukum). Seorang maling jika tertangkap akan ramai-ramai digebug masyarakat sampai babak belur, bahkan jika perlu sampai meregangkan nyawanya. Padahal maling itu mungkin hanya mencuri seekor ayam. Masyakarat “punitif” adalah masyarakat yang sebenarnya tak mampu melakukan penghukuman (balas) terhadap rezim yang dulu menindas. Karena itu mereka mencari kompensasi dengan “menghukum” kekuasaan yang sederajat. Karenanya ketika pers melakukan kekerasan terhadap mereka, maka mereka pun balas mengerasinya.

Eksekutif. Arogansi kekuasaan adalah istilah yang sudah lama populer untuk menggambarkan perilaku birokrat (di daerah), yang kerap unjuk kekuasaan untuk kepentingan lembaganya. Bahkan terkadang untuk kepenntingan pribadi dan keluarganya. Dengan terbukanya kran kebebasan pers, banyak pejabat daerah yang kemudian menjadi alergi terhadap wartawan. Kenapa?

Berbagai kasus penyelewengan dan selingkuh kekuasaan yang diendus wartawan dan dilemparkan ke publik, dipandang sebagai aib, sekaligus berpotensi mengancam kedudukannya. Semasa rezim orde baru, para pejabat publik yang arogan ini bisa mempertontonkan kekuasaanya kepada siapa saja, termasuk wartawan. Ini mengingat setting politik waktu itu ditandai oleh surplus kekuasaan di pihak eksekutif.

Paska longsornya rezim orde baru, tuntutan untuk menciptakan pemerintah yang terbuka dan transparan, mempersyaratkan adanya akuntabilitas pejabat publik atas segala kebijakan publik yang diambilnya. Pers berfungsi sebagai public watch dog yang mengawai perilaku pejabat publik dalam konteks kebijakan publik yang dijalankannya. Namun reformasi struktural tersebut tidak disertai reformasi kultural (perubahan sikap para pejabat publik). Akibatnya banyak pejabat publik yang bersikap tertutup terhadap wartawan. Bahkan tak sekadar menutup diri. Yang ekstrim malah “memusuhi” wartawan. Caranya bisa lewat intimidasi/ teror, atau melecehkan profesi wartawan.

Satgas Partai Politik dan Milisi Sipil. Milisi sipil yang dibentuk PDI-P ini kini lebih sering menciptakan rasa tidak aman bagi pihak lain, khususnya para pekerja pers.[i] Ini ironi. Pertama, sebagai partai yang meraih suara terbesar dalam pemilu 1999, dan pimpinan pucuknya pernah menjadi presiden RI ke-5, kinerja PDI-P sudah tentu akan banyak mendapat sorotan publik, dibanding parpol lainnya. Namun pada dataran realita, sejumlah petinggi politik PDI-P banyak memperoleh cibiran karena dugaan keterlibatan dalam sejumlah praktek money politic, yang membuat calon walikota dan bupati yang dijagokan Fraksi PDI-P di lembaga legislatif gagal memenangkan pemilihan. Padahal mereka mempunyai suara mayoritas.[ii] Sedangkan pada dataran massanya, terutama Satgasnya, mereka kerap menggunakan aksi kekerasan dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah.

Kedua, habitat parpol, lewat lembaga legislatif dan keberadaannya sebagai parpol, adalah produsen sekaligus pemain dari sejumlah kebijakan politik formal. Dengan demikian, PDI-P, termasuk satgasnya, diikat aturan main politik yang dibidaninya sendiri. Aturan politik diciptakan salah satunya untuk mengatur agar denyut demokrasi berjalan lancar. UU Pers No 40/1999 adalah salah satu produk politik yang ikut dibidani para petinggi politik PDI-P di DPR. Fraksi PDI-P bahkan menyatakan bahwa kebebasan pers merupakan syarat mutlak demokrasi.[iii] Namun pada prakteknya, justru elemen PDI-P sendiri yang kerap mengintervensi kebebasan pers lewat berbagai tindak penganiayaan maupun intimidasi/teror terhadap wartawan(me) di Sumatera.

Ketiga, salah satu fungsi parpol dan elemen yang mendukungnya adalah melakukan pendidikan politik untuk mengikat dan memperluas basis konstituen mereka. Pendidikan politik, termasuk dalam menyelesaikan masalah, tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Apalagi sampai melukai secara fisik. Prosedur jurnalistik telah mengatur, jika ada pihak yang tidak puas atau merasa dirugikan oleh suatu produk jurnalisme, maka bisa ditempuh dengan menggunakan hak jawab dan atau menempuh jalur hukum.

Milisi sipil lain yang kerap melakukan amuk kekerasan adalah organisasi-organisasi pemuda yang lengket dengan citra kekerasan dan kerap melakukan tindak premanisme.

Legislatif. Executive heavy adalah situasi ketika orde baru berkuasa, saat ini yang terjadi adalah legislative heavy. Presiden Gus Dur pernah menjuluki legislatif sebagai taman kanak-kanak karena suka ribut melulu, sementara Presiden Megawati mengidentifikasi mereka sedang mengalami eforia. Sikap eforia sebagian anggota legislatif ibarat kuda yang baru dilepas dari tali kekangnya, menyepak ke kanan-kiri, depan, belakang dan samping. Termasuk terhadap wartawan. Sikap pelecehan yang kerap diungkapkan anggota legislatif adalah manifestasi rasa frustasi sebagian anggota legislatif yang menganggap bahwa pers sudah keblabasan. Namun mengerasi wartawan sebagai jalan keluar adalah tindakan paradoksal. Bukankah UU Pers 40/1990 juga lahir dari tangan anggota dewan sendiri.

0 komentar: