Kekerasan Atas nama agamam

Koran Tempo, Jum’at, 23 September 2005
Rubrik Opini

Kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia kembali terjadi. Sekitar seribu orang menyerbu perkampungan Ahmadiyah di Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat, Senin (19/9) malam hingga Selasa (20/9) dini hari (Koran Tempo, 21/9). Seperti diketahui, ajaran Ahmadiyah divonis sesat oleh Majelis Ulama Indonesia. Saya tidak ingin menghubungkan fatwa MUI dengan tindakan kriminal itu. Apalagi, dalam rapat dengar pendapat umum antara Komisi VIII DPR, yang antara lain membidangi masalah keagamaan, dan MUI (31/8), Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma’ruf Amien menafikan keterkaitan antara fatwa MUI dan aksi-aksi kekerasan (Jawa Pos, 1/9). Pernyataan senada disampaikan oleh Ma’ruf Amien berkali-kali dalam pelbagai kesempatan. Dalam pertemuan itu juga, anggota Komisi VIII, Agung Sasongko, meminta MUI “mengeluarkan fatwa baru mengenai larangan menyelesaikan perbedaan pendapat lewat tindak anarkis dan kekerasan”.

Meskipun demikian, nasib malang Jemaah Ahmadiyah itu mengajak kita kembali untuk bersikap kritis terhadap fatwa ataupun pendapat yang bisa memancing emosi masa. Tentu saja, dalam materi fatwa MUI, tidak ada klausul untuk menyerang dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok atau aliran yang dianggap “sesat” dan “diharamkan”. Namun, sepanjang sejarah umat Islam, fatwa bermodel seperti itulah yang paling efektif menggerakkan nalar dan emosi manusia untuk melakukan tindakan kekerasan dan main hakim sendiri.

Dalam konteks umat Islam yang masih dibelenggu doktrin fikih klasik, kelompok atau individu yang sudah divonis “murtad”, “kafir”, atau “sesat” berarti telah dihalalkan untuk dibunuh! Secara sewenang-wenang, mereka menggunakan sebaris hadis, ”man baddala dînahu faqtulûhu” (“barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”). “Mengganti agama” dimaknai murtad, kafir, atau sesat. Fatwa tersebut seperti vonis dalam pengadilan in absentia, tanpa klarifikasi dan pembelaan, dengan dakwaan sepihak. Meskipun demikian, umat Islam yang awam tidak mau tahu dengan prosedur yang tidak sehat itu; yang ditangkap hanya ujungnya: orang ini murtad, kelompok itu sesat, maka dibunuh saja!

Penggunaan idiom-idiom teologis pada fatwa–yang pada hakikatnya adalah “opini legal manusia”–mampu meniupkan roh kekuatan dan kebanggaan bagi siapa saja yang bersedia “mengorbankan dirinya” untuk menjalankan “misi suci” itu. Imam Samudra, terpidana kasus bom Bali, tersenyum lebar, tidak merasa bersalah atau berdosa, bahkan bangga, setelah membunuh ratusan orang sipil di Bali, yang diyakini sebagai jihad. Hukuman mati kepadanya dianggap sebagai pintu menuju kesyahidan: masuk surga tanpa hisab.

Dalam sejarah Islam klasik, mudah dijumpai fenomena seperti itu. Abu Bakar menjatuhkan fatwa “murtad” terhadap kelompok yang tidak mau menyerahkan zakat sehingga wajib diperangi. Pada awalnya, para sahabat tidak setuju dengan fatwa itu. Menurut Umar, misalnya, dakwaan murtad tidak tepat bagi orang Islam yang masih bersyahadat dan salat. Namun, Abu Bakar tetap berkeras, otoritas seorang khalifah tidak bisa ditolak.

Muhammad Imarah dalam bukunya, Al-Islam wal Hurûb al-Dîniyah, menorehkan catatan kritis terhadap sejarah “perang terhadap orang murtad” (harb al-murtaddîn) itu. Label “murtad” bukan dalam ranah teologis–dalam arti, keluar dari agama–tapi dalam ranah politis. Kelompok itu bukan tidak mau membayar zakat, tapi tidak mau menyerahkan zakat kepada pemerintah pusat yang dipimpin Abu Bakar setelah Rasulullah mangkat. Mereka merupakan kelompok pembangkang (al-bughât) dan menolak kepemimpinan Abu Bakar. Pemikir politik Islam asal Maroko, Muhammad Abid Jabiri, memberikan kesan yang sama. Perang itu bertujuan menjaga formasi kedaulatan Islam yang masih dini.

Namun, penggunaan label “murtad” itu tetap bermasalah hingga kini. Kebanyakan umat Islam tetap memaknainya secara teologis. Kelompok yang divonis “murtad” atau “kafir” wajib diperangi, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar. Khalifah ketiga, Utsman bin ‘Affan, mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Dia dituduh “melampaui wewenangnya sebagai pemimpin umat Islam yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya” alias “kafir”. Setelah fatwa itu keluar, Utsman bin ‘Affan pun dibunuh. Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, juga dijatuhi fatwa mati oleh kelompok Khawarij, yang sebelumnya pendukung Ali. Menantu Rasulullah itu dituduh percaya kepada “hukum manusia” karena setuju dengan arbitrase (tahkîm) yang merupakan akal-akalan Mu’awiyah, musuh politik Ali. Padahal, menurut Khawarij, “Tiada Hukum selain Hukum Tuhan” (lâ hukm illâ hukm Allâh). Kelompok radikal itu secara sewenang-wenang menafsirkan ayat 44, 45, dan 47 surat Al-Maidah, “Seorang yang tidak menggunakan hukum Allah, maka dia kafir, zalim, dan fasik.” Hukuman bagi orang kafir, zalim, dan fasik adalah dibunuh. Fatwa yang keluar: Ali, Mu’awiyah, dan Amr bin Ash telah “kafir”, “zalim”, dan “fasik”. Ali bin Abi Thalib terbunuh, sedangkan Mu’awiyah dan Amr bin Ash selamat.

Demikian salah satu episode kelam dari sejarah umat Islam. Fatwa-fatwa otoriter terbukti sangat efektif menimbulkan tindakan anarki dan kekerasan. Dalam sejarah umat Islam modern, petaka itu kembali terjadi. Syekh Muhammad al-Dzahabi, ulama Al-Azhar yang mumpuni, dibunuh setelah dijatuhi fatwa murtad dan kafir oleh Jamaâh Takfîr wal Jihâd (Kelompok Pengkafir dan Jihad). Farag Fouda ditembak mati di halaman rumahnya oleh pengikut kelompok radikal setelah atasannya menjatuhkan fatwa kafir dan murtad terhadap dia. Percobaan pembunuhan juga dialami novelis Naguib Mahfouz setelah ada fatwa bahwa novelnya, Awlâd Hârâtinâ, bertentangan dengan Islam. Sedangkan di Sudan, pemikir Islam Ustad Muhammad Mahmoud Thaha digantung sampai mati setelah divonis murtad.

Karena itu, fatwa yang secara sewenang-wenang menyebut individu, kelompok, atau aliran sebagai “sesat”, “kafir”, dan “murtad” merupakan tindakan pembunuhan karakter (character assassination) dalam ranah teologis, yang acap kali diikuti dengan pembunuhan fisik. Seorang intelektual Mesir, Muhammad Said Asymawi, menyebut fatwa-fatwa model itu sebagai “terorisme pemikiran” (al-irhâb al-fikrî) atau “kekerasan pemikiran” (al-’unf al-fikrî) yang sering berujung pada “kekerasan dan terorisme yang sebenar-benarnya” (al-irhâb al-haqîqî wal ‘unf al-haqîqî).

Padahal fatwa-fatwa model itu bertentangan dengan mekanisme fatwa dalam tradisi hukum Islam. Fatwa itu relatif, kondisional, dan fleksibel. Lebih penting lagi: tidak otoriter. Seruan Khaled Abou el-Fadl (2003) untuk melawan otoritarianisme fatwa layak diapresiasi. Bagi Khaled, hukum Islam secara kukuh menentang kodifikasi dan penyeragaman (Islamic law has staunchly resisted codification or uniformity). Metodologi hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan antiotoritarianisme (tradisional Islamic methodology has been its open-ended and anti-authoritarian character). Namun, yang menjadi persoalan dewasa ini adalah kecenderungan praktek hukum Islam yang memperlakukan syariat Islam sebagai perangkat aturan (ahkâm) yang mapan, statis, dan tertutup yang harus diterapkan tanpa menyisakan ruang yang luas untuk pengembangan dan keragaman. Singkatnya, hukum Islam pada era modern ini dipandang sebagai perangkat aturan (ahkâm), bukan sebagai sebuah proses pemahaman (fiqh). Kecenderungan ini berpotensi melahirkan otoritarianisme dalam memahami hukum Islam.

0 komentar: